Nationalgeographic.co.id—Berita kelaparan global tampaknya tidak cukup menjadi alasan bagi kita untuk mengerem sampah makanan. Namun, semoga penelitian terbaru ini dapat menyadarkan kita untuk mengurangi sampah makanan. Harapannya, mengerem sampah makanan akan membantu mengerem perubahan iklim.
Jürgen Kropp, salah satu penulis studi terbaru melihat bagaimana kelebihan makanan membebani planet ini. Ia mengatakan bahwa bukan rahasia lagi, jika negara-negara Barat bertanggung jawab atas keadaan darurat hari ini.
“Produksi pertanian secara umum menghasilkan emisi, misalnya, melalui konversi lahan atau penggunaan pupuk yang berlebihan,” Jurgen Kropp. Sementara “emisi dari pertanian tidak dapat sepenuhnya dihindari,” ungkapnya, dunia melebih-lebihkan permintaan, menghasilkan jauh lebih banyak makanan daripada yang bisa kita konsumsi.
Gaya konsumsi makanan kita menjadi bagian dari krisis iklim. Penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology, menemukan bahwa konsumsi tidak banyak berubah selama 50 tahun terakhir, surplus global makanan meningkat sekitar 65 persen. Produksi makanan yang terus-terusan berlebihan justru meningkatkan gas rumah kaca yang dipancarkan, namun tidak mengurangi jumlah orang yang kelaparan.
Menurut tim peneliti, menghindari pembuangan makanan dari hasil pertanian dapat membantu mencegah dampak iklim, seperti cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan laut.
"Pertanian adalah pendorong utama perubahan iklim, terhitung lebih dari 20 persen emisi gas rumah kaca global secara keseluruhan," kata rekan penulis, Prajal Pradhan dalam sebuah pernyataan. "Menghindari kerugian limbah makanan, karena itu akan menghindari emisi gas rumah kaca yang tidak perlu dan membantu mengurangi perubahan iklim."
Setiap tahun sekitar 1,3 miliar ton makanan—sekitar sepertiga dari seluruh produksi makanan dunia—tidak pernah dikonsumsi seperti yang dipaparkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Amerika Serikat.
Makanan yang terbuang itu senilai hampir 1 triliun dolar Amerika, yang sebenarnya dapat memberi makan sekitar 2 miliar orang (jumlah yang cukup mengejutkan), mengingat laporan lain menyatakan ada sekitar 800 juta orang kekurangan gizi di dunia.
Di sepanjang rantai suplai, buah-buahan dan sayur-sayuran lebih banyak hilang atau terbuang daripada jenis makanan lainnya. Mudah rusak dan rentan perubahan suhu di sepanjang perjalanan antara pertanian ke meja makan, buah-buahan dan sayur-sayuran juga biasanya paling dahulu dibuang di rumah.
Data dari FAO menunjukkan dalam rantai suplai buah dan sayuran dunia, porsi sebesar 53 persen hilang atau tersia-siakan. Hanya sebesar 47 persen yang benar-benar dikonsumsi.
Perincian buah dan sayuran yang hilang atau tersia-siakan tadi adalah sebesar 20 persen hilang dalam pemetikan dan pengepakan. Sebesar 3 persen hilang dalam penyimpanandan pengiriman. Sebesar 2 persen hilang saat dalam produksi, pengalengan, pembuatan jus, atau pemasakan. Sebesar 9 persen dibuang di tingkat grosir dan supermarket, dan 19 persen tidak termakan dan dibuang oleh rumah tangga.
“Oleh karena itu, inefisiensi dalam rantai pasokan makanan ini perlu ditangani untuk mengurangi konsekuensi lingkungan dan beban iklim terkait pertanian,” tulis Kropp dan rekan-rekannya dalam makalah mereka. “Mengatasi tantangan ini juga akan menurunkan permintaan pangan di masa depan.
Untuk memberi makan populasi manusia, selain meningkatkan produksi pangan, pertanyaan mendasar yang masih harus dijawab adalah "bagaimana kita dapat membuat rantai pasokan makanan menjadi lebih cerdas dan efisien, dan bagaimana konsumen dapat diyakinkan untuk mengurangi limbah makanan,” tulis mereka.
Peneliti dari Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim memperingatkan bahwa pada 2050, sepersepuluh dari emisi sektor pertanian dapat ditelusuri kembali ke produksi makanan yang terbuang. Tentu saja harus ada upaya global untuk mengurangi jumlah makanan yang terbuang ini.
"Menghindari kerugian makanan dapat mempengaruhi berbagai tantangan sekaligus, mengurangi dampak lingkungan pertanian, menghemat sumber daya yang digunakan dalam produksi pangan, dan meningkatkan ketahanan pangan lokal, regional, dan global," kata Kropp dalam sebuah pernyataan.
Mari mengurangi makanan yang terbuang percuma—baik saat berbelanja di supermarket, bersantap di restoran, memasak dan bersantap di rumah, maupun masyarakat.
Baca Juga: Sering Menyisakan Makanan? Ini Dampaknya Bagi Lingkungan dan Kehidupan Manusia
Baca Juga: Food for All, Aplikasi yang Membantu Toko Kurangi Sampah Makanan
Baca Juga: Eva Bachtiar Menyelamatkan Limbah Pangan di Negeri yang Lapar
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim terhadap Ragam Pasokan Pangan dan Nutrisi Dunia
Ketika berbelanja di supermarket, kita harus mengambil keputusan dengan hati-hati tentang jenis makanan apa dan berapa banyak yang sebaiknya kita beli. Salah satu caranya, beli makanan beku, yang lebih sedikit terbuang dalam perjalanan dari pertanian ke rak toko. Atau, beli makanan segar di pasar petani lokal.
Ketika di restoran, bawalah pulang sisa makanan kita. Kita juga bisa berbagi hidangan pendamping untuk mengendalikan porsinya. Minta pelayan mengangkat kembali makanan tambahan seperti roti dan mentega yang tidak akan Anda makan.
Ketika di masyarakat kita juga bisa memulainya dengan menerapkan ilmu dari mata pelajaran ekonomi tentang dasar-dasar memasak, pengalengan, dan menyimpan makanan. Sejatinya, bisnis, sekolah, badan nirlaba, dan pemerintah bisa mencari cara untuk mengurangi pembuangan makanan.
Pemborosan pangan di planet yang memiliki sumber daya serba terbatas ini adalah sebuah perbuatan yang tidak senonoh. Mari jangan menyia-nyiakan makanan, awali dari kita sendiri.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR