Johnston memberikan laporan kepada otoritas Inggris di Tiongkok tentang sosok sang Kaisar, yang dikutip pula dalam bukunya bertajuk Twilight in the Forbidden City, terbit 1987. "Dia tampak kuat secara fisik dan berkembang dengan baik untuk usianya. Dia adalah anak laki-laki yang sangat "manusiawi", dengan keaktifan, kecerdasan, dan selera humor yang antusias," tulisnya. "Selain itu, dia memiliki perilaku yang sangat baik dan benar-benar bebas dari kesombongan […]."
Namun berkait kehidupan di Kota Terlarang, Johnston khawatir tentang dampak psikologis pada masa depan Puyi. "Tidak ada harapan bahwa dia akan muncul tanpa cedera dari bahaya moral selama beberapa tahun berikutnya dalam hidupnya [...], kecuali dia dapat disingkirkan dari pengaruh gerombolan kasim dan pejabat tidak berguna lainnya yang sekarang hampir menjadi satu-satunya sahabatnya."
Johnston menambahkan, menurutnya, di luar Kota Terlarang mungkin Puyi akan menjalani kehidupan yang jauh lebih nyata dan lebih bahagia daripada yang dia bisa dapatkan dalam tembok istananya.
"Saya cenderung berpikir bahwa tindakan terbaik untuk kepentingan anak laki-laki itu sendiri adalah menyingkirkannya dari atmosfer berbahaya "Kota Terlarang" dan mengirimnya ke Istana Musim Panas."
Kaisar Puyi mengenang Johnston seperti dalam biografinya yang ditulis wartawan Edward Samuel Behr bertajuk The Last Emperor, yang terbit di Toronto, Kanada, pada 1987.
Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali
Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa
Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Aisin-Gioro Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok
Baca Juga: Kisah para Kaisar Tiongkok yang Aneh dan Menarik dalam Sejarah
"Saya rasa dia adalah yang terbaik tentang segalanya. Dia membuat saya merasa bahwa orang Barat adalah orang paling cerdas dan beradab di dunia dan bahwa dia adalah orang Barat yang paling terpelajar," tulisnya. Kemudian Puyi melanjutkan, "Johnston telah menjadi yang utama. bagian dari jiwaku."
Mereka Berseteru
Sejauh ini kita melihat hubungan kemanusiaan nan hangat antara guru dan murid dalam kisah Johnston dan Puyi. Namun, Raymond Lamont-Brown dalam bukunya bertajuk Tutor to the Dragon Emperor: The Life of Sir Reginald Fleming Johnston at the Court of the Last Emperor, yang terbit pada 1999, membedah fakta-fakta perseteruan pada akhir persahabatan itu.
Menurut Raymond, tulisan Johnston tentang hubungan keduanya tanpa disadari mengutuk Puyi sebagai alat sukarela Jepang selama Perang Dunia Kedua. Sebaliknya Puyi yang menghadapi kemungkinan eksekusi atas kejahatan perang, menyebut mantan guru bahasa Inggrisnya sebagai pembohong dan bukunya palsu.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR