Negosiator di kedua sisi memilih bentuk pemerintahan republik dan 14 provinsi mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun mereka memutuskan untuk meminta kekaisaran untuk memutuskan apakah pemerintahan baru akan menjadi republik konstitusional atau monarki konstitusional.
"Pada akhir Desember 1911, Ibu Suri Longyu setuju, dengan demikian mengakhiri Dinasti Qing dan Kekaisaran Tiongkok," tulis Lane J. Harris di bukunya yang berjudul The Peking Gazette.
Pengunduran diri itu resmi mengakhiri Dinasti Manchu Qing yang berusia 268 tahun dan seluruh sistem kekaisaran. Ibu Suri Longyu mengeluarkan tiga dekrit. Yang pertama adalah dekrit formal pelepasan takhta. Dekrit kedua meminta semua pejabat untuk menjaga perdamaian selama dalam transisi. Yang ketiga, memberikan Aisin Gioro Puyi gelar "Kaisar Qing Agung" sampai akhir hidupnya, anuitas empat juta tael, tempat tinggal "sementara" di Kota Terlarang, dan perlindungan atas harta miliknya.
Baca Juga: Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet
Baca Juga: Puyi, Kaisar Tiongkok yang Pertama Kali Belajar Bahasa Inggris
Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali
Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa
Dekrit turun tahta, yang ditandatangani oleh Ibu Suri Longyu atas nama Kaisar Puyi berbunyi:
"Seluruh kekaisaran cenderung ke arah bentuk pemerintahan republik. Itu Kehendak Surga dan sudah pasti kita tidak bisa menolak keinginan rakyat demi kehormatan dan kemuliaan satu keluarga.
Kami, Kaisar, menyerahkan kedaulatan kepada rakyat. Kami memutuskan bentuk pemerintahan menjadi republik konstitusional.
Pada masa transisi ini, untuk menyatukan Selatan dan Utara, kami menunjuk Yuan Shikai untuk mengatur pemerintahan sementara, berkonsultasi dengan tentara rakyat mengenai penyatuan lima bangsa: Manchu, Han, Mongolia, Mohammedan dan Tibet. Orang-orang ini bersama-sama membentuk negara besar Chung Hwa Ming-Kus (Republik Tiongkok).
Kami sekarang pensiun ke kehidupan yang damai dan akan menikmati perlakuan hormat dari bangsa."
Puyi secara singkat dikembalikan ke takhtanya sebagai bagian dari Restorasi Manchu pada tahun 1919. Namun ia berkuasa hanya selama 12 hari sebelum pasukan republik menggulingkan kaum royalis.
Pada tahun 1924, gelar kekaisaran Puyi dihapuskan dan ia pun menjadi warga negara biasa. Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Puyi menghabiskan sebagian besar sisa masa dewasanya sebagai bidak. "Ia dimanipulasi oleh berbagai kekuatan untuk mengejar tujuan mereka sendiri," ungkap Roller.
Pada tahun 1959, ia bekerja sebagai penyapu jalan di Beijing. Mantan kaisar itu menjadi warga negara tanpa gelar resmi, tunjangan atau penghargaan. Puyi kemudian meninggal pada tahun 1967 karena kanker ginjal dan penyakit jantung.
Source | : | History Hit |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR