Kisah lain menceritakan tentang roh rubah yang muncul dengan menyamar sebagai wanita cantik. Ia menunggu untuk merayu pengembara yang penuh nafsu dan membawa mereka ke kehancuran.
Bagian kota, terutama yang memiliki bangunan seram atau terbengkalai, dikenal sebagai tempat berhantu.
Sebuah Menara Rubah terletak di sepanjang tepi timur tembok kota tua Beijing. Bangunan itu pernah menghadap ke daerah terpencil tempat sebuah kanal busuk memotong gurun yang dipenuhi sampah.
Ketakutan akan roh rubah membuat banyak penduduk menjauh. Reputasi menara menjadi semakin menyeramkan setelah tubuh Pamela Werner yang dimutilasi ditemukan. Ia adalah subjek buku terlaris Midnight in Peking oleh Paul French.
Ketakutan akan pencuri jiwa merasuki Kota Terlarang
Ketakutan akan hal-hal gaib bahkan bisa menembus alam dalam Kota Terlarang. Ahli sejarah Philip Kuhn pada 1990 mengungkapkan tentang pencuri jiwa dan penyihir dalam bukunya Soulstealers: The Chinese Sorcery Scare of 1768. Ini dimulai dengan sekelompok tukang batu malang yang dicurigai menggunakan ilmu sihir untuk memperbaiki jembatan dekat Suzhou.
Beberapa saat kemudian, sekelompok biksu pengembara ditangkap dan disiksa. Biksu malang itu dituduh memotong kepang yang dikenakan oleh pria Tionghoa. Kepang itu menjadi tanda tunduk pada Dinasti Qing saat itu.
Mereka dianggap menggunakan sihir terhadap orang lain untuk mendapatkan jiwa orang tersebut. Jiwa bisa memberikan kekuatan penyihir dan menyebabkan korban kehilangan nyawanya. Untuk melakukannya, penyihir harus mengetahui nama korban atau mencuri salah satu harta miliknya. Memotong kepang dianggap sebagai salah satu cara untuk mencuri jiwa.
Pejabat lokal menuduh para biksu menggunakan kuncir rambut itu untuk sihir. Ketakutan sihir menyebar ke kota-kota lain. “Naik ke rantai komando hingga akhirnya mencapai meja Kaisar Qianlong,” kata Jenne.
Baca Juga: Kisah Mistik di Kekaisaran Ottoman dalam Catatan Evliya Çelebi
Baca Juga: Kaisar Zhengtong, Penyebab Pertempuran hingga Buat Rakyatnya Dibantai
Source | : | The World of Chinese |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR