Beberapa tahun kemudian, Perang Tiongkok-Jepang Pertama (1894 — 1895) Meletus. Saat itu, Kaisar Guangxu dengan tegas mendukung untuk berperang.
Namun, angkatan laut Kekaisaran Qing, yang merupakan pasukan pribadi Li Hongzhang, Armada Beiyang, tewas setelah serangkaian pertempuran sengit.
Kaisar Guangxu ingin memindahkan ibu kota ke tempat yang lebih aman dan terus berperang melawan Jepang. Di sisi lain, Ibu Suri Cixi bersikeras untuk menuntut perdamaian dan kemudian menandatangani Perjanjian Shimonoseki. Perjanjian yang tidak adil yang mencakup penyerahan wilayah yang luas dan banyak ganti rugi perang.
Kegagalan besar ini berarti Gerakan Penguatan Diri (1861-1895) telah gagal total. Dengan ini, kekaisaran Tiongkok menjadi kekaisaran semi-kolonial dan semi-feodal.
Kaisar Guangxu menghadap ke laut di mana pasukan utama Qing tewas. Di sana, ia meratap dengan sedih, merasa sangat sedih karena dia tidak dapat mempertahankan kekaisarannya sebagai pemimpin.
Kaisar Guangxu dan gerakan reformasi menyeluruh
Sehari setelah kekaisaran menandatangani perjanjian dengan Jepang, sekitar 1.300 cendekiawan menyatakan bahwa kekaisaran tertinggal dalam banyak hal. Karena itu, kekaisaran membutuhkan reformasi fundamental yang lebih radikal.
Kaisar Guangxu sangat mendukung gagasan ini dan berusaha lebih keras untuk mencari perubahan. Tiga tahun kemudian, didukung oleh beberapa pejabat, Kaisar Guangxu melaksanakan Gerakan Reformasi tahun 1898.
Reformasi ini termasuk mengubah pakaian dan gaya rambut Manchu Qing, menetapkan konstitusi, parlemen, tentara modern, dan sekolah baru. Kekaisaran juga mendorong bisnis dan industri swasta, komunikasi bebas, dan memotong hak istimewa Manchu.
Kebijakan-kebijakan ini membutuhkan pengalihan kekuatan politik dan militer dari bangsawan Cixi dan Manchu. Ini merupakan sebuah reformasi mendasar dari sistem aristokrat nomaden Dinasti Qing.
Reformasi gagal
Source | : | Britanica |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR