Nationalgeographic.co.id—Dominasi Portugis di Samudera Hindia dan Selat Malaka pada awal abad ke-13 menimbulkan gejolak anti-kolonialisme di wilayah Aceh. Secara tak langsung, hal ini mendorong kerja sama antara dua kerajaan Islam: Kekaisaran Ottoman dan Kesultanan Aceh Darussalam.
Muhammad Haykal, dalam studinya: Ekspedisi Turki Utsmani dan Gerakan Anti-Kolonialisme Kesultanan Aceh Darussalam (1530-1568), mengkaji kemunculan Portugis di Perairan Hindia dan Selat Malaka. Studinya terbit dalam Jurnal El Tarikh.
Ketibaan bangsa Portugis di Malaka merupakan titik awal mulanya kolonialisme di Nusantara. Hal ini kemudian akan menjadi suatu gangguan dan ancaman bagi stabilitas Kesultanan Aceh Darussalam.
Haykal menjelaskan, bahkan sebelum bangsa Portugis menduduki Malaka, di tahun 1509 Aceh telah merasakan dampak keberadaan Portugis.
Pada tahun 1509, interaksi pedagang Aceh dengan pedagang muslim Arab dan Gujarat di Samudera Hindia sudah mulai terganggu akibat keberadaan kapal-kapal Portugis. Portugis melakukan beberapa kali intervensi dagang di pelabuhan Pasai dan Pedir.
“Intervensi ini kemudian akan berdampak kepada sikap Kesultanan Aceh dan Turki Utsmani dalam meresponnya,” tegas Haykal.
Kedatangan Portugis dan Munculnya Aceh Darussalam
Kemunculan kapal-kapal Portugis di Samudera Hindia memiliki misi pencaharian sumber daya ekonomi. Tidak hanya itu, menurut Haykal, “juga memiliki misi penyebaran agama.”
Haykal menjabarkan, bahwa keberadaan Portugis di Nusantara telah mengakibatkan dua masalah besar bagi kerajaan Islam di Nusantara, termasuk Aceh dan Malaka.
Masalah pertama yang muncul adalah, “masalah gangguan aktivitas dagang di berbagai kota pelabuhan di Samudera Hindia.” Kemudian, gangguan terhadap kapal-kapal jamaah muslim yang hendak menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Dominasi dan gangguan armada Portugis mencapai puncaknya pada tahun 1511. Hal ini ditandai dengan jatuhnya Malaka di tangan Portugis.
Runtuhnya Malaka menyebabkan terhambatnya aktivitas dagang saudagar Muslim yang sebelumnya berpusat di Malaka dan Semenanjung Melayu. Akhirnya mereka berpindah ke Aceh.
Kondisi politik di Aceh sendiri saat itu tidak terlalu stabil, hal ini karena kejatuhan Malaka terjadi bersamaan dengan terbentuknya Kesultanan Aceh.
Haykal menjelaskan, bahwa Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada awal abad ke-16. “Kesultanan Aceh berdiri dari penyatuan beberapa kerajaan Islam yang terfragmentasi seperti Lamuri dan Daya, Pedir dan lainnya.”
Kejatuhan Malaka serta disusul oleh proses terbentuknya Kesultanan Aceh telah mengakibatkan terjadinya perpindahan geopolitik di selat Malaka. Dalam waktu cepat, Aceh Darussalam menjadi pusat bisnis, politik, pendidikan, dan kebudayaan.
Gerakan Anti-Kolonialisme dan Faktor Dukungan Turki Utsmani
Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Kesultanan aceh semakin luas. Beberapa kerajaan-kerajaan kecil yang kala itu telah dipengaruhi Portugis, kini telah kembali dikuasai oleh Kesultanan Aceh.
Pendiri Kesultanan Aceh, Sultan Ali Mughayat Syah, membuat kebijakan untuk melakukan penyerangan ke kota-kota pelabuhan. Hal ini merupakan respon atas gangguan Portugis.
Upaya tersebut berhasil membuat Portugis kewalahan. Alih-alih mundur, Haykal menerangkan, Portugis justru membalasnya dengan “menyerang rombongan jemaah Haji.”
Pada tahun 1521, sebelum Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman bermitra, Portugis melancarkan serangan dengan jumlah kekuatan yang besar. Namun Sultan Ali Mughayat Syah dengan sigap meresponya, sehingga berhasil memukul mundur pasukan Portugis.
“Pertempuran inilah yang kemudian menjadi pertempuran pertama dalam perjuangan anti-kolonialisme melawan Portugis yang akan berlangsung selama 120 tahun sampai takluknya Portugis dari Malaka,” terang Haykal.
Pada tahun 1530, Aceh mulai membangun aliansi dengan Kekaisaran Ottoman. Tepatnya setelah Ottoman mengepakan sayap kekuasaannya di Samudera Hindia.
Kekaisaran Ottoman memiliki kepentingan yang sama dengan Kesultanan Aceh, yaitu menjaga stabilitas di Samudera Hindia. Tak hanya menjadi ancaman di sektor ekonomi, namun Portugis juga menjadi sebuah ancaman pada ibadah Haji.
Hubungan erat dua kerajaan Islam ini mencapai puncaknya pada tahun 1560-an, “di mana beberapa ekspedisi angkatan laut Turki Utsmani berhasil mencapai perairan Nusantara untuk pertama kalinya.”
Sepanjang abad ke-16, banyak sumber yang menceritakan teror yang dilakukan kapal-kapal Portugis terhadap jemaah-jemaah haji asal Nusantara. Seperti apa yang disampaikan Sultan Aceh Alauddin al-Kahar, dalam surat yang ditujukan kepada Sulaiman I: “Mereka menyandera para jamaah haji lalu dijual sebagai budak.”
Alauddin al-Kahar, Sultan Aceh ketiga, bersurat kepada Sulaiman I dengan maksud mengajukan permohonan delegasi.
Bantuan dari Kekaisaran Ottoman
“Dengan rendah hati meminta agar Sultan Turki Utsmani menganggap Aceh sebagai bagian dari provinsi-nya dan menganggap dirinya sebagai salah seorang Gubernur Turki Utsmani,” terang Haykal.
Setibanya surat Al-Kahar di Istanbul pada 1566, Sultan Sulaiman I saat itu sedang berada di Szigetvar, lalu ia wafat disana pada bulan September 1566.
Haykal menerangkan, Selim II yang merupakan penerus dari Sulaiman I, menerima delegasi Aceh dan menyambut positif permintaan dari Sultan Aceh Al- Kahar. Bey di Mesir, Hijaz, dan Rhodos diinstruksikan untuk mempermudahkan kebutuhan para delegasi Aceh.
Baca Juga: Ereveld Ancol Berbagi Histori: Ziarah Para Pejuang Aceh yang Terlupakan
Baca Juga: Kisah Perempuan: Menelisik Ketangguhan Perempuan Aceh di Masa Lalu
Baca Juga: Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat
Baca Juga: Benarkah Tsunami Aceh Telah Diramalkan Dalam Manuskrip Kuno?
“Hal ini dibuktikan dalam surat perintah sultan Selim II atau Nişan-ı Hümayun yang berisi tentang keputusan Selim II mengangkat Kurtoğlu Hızır Reis sebagai Laksamana angkatan laut yang akan berangkat ke Aceh.”
Tidak berjalan mulus, saat bantuan sedang dalam perjalanan, meletus pemberontakan di Yaman. pemberontakan ini dipimpin oleh Muttahar, seorang Imam dari Zaydi Syiah di Yaman.
Setelah pemberontakan berhasil mereda, Sultan Selim II kembali mengerahkan tiga ribu prajuritnya untuk dikirim ke Aceh.
Kerjasama antara Aceh dan Turki Utsmani, “memainkan peranan sangat krusial dalam perkembangan militer Kesultanan Aceh.” Tidak hanya berhenti pada perlawanan Portugis, kerja sama ini terus menjadi gerakan yang kuat dalam melawan kolonial Belanda dan Britania Raya.
Perlu diketahui bahwa selain Kekaisaran Ottoman, Muslim Gujarat juga turut menjadi mitra dalam misi anti-kolonialisme Portugis.
“Bahkan diperkirakan, penyebutan nama ‘Serambi Mekkah’ untuk Aceh juga dimulai pada masa ini dikarenakan pengiriman rempah-rempah tersebut bersamaan dengan keberangkatan kapal-kapal jamaah Haji asal Nusantara dan Gujarat,” jelas Haykal.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR