Anggrek berbentuk seperti helm dengan daun berbentuk hati ini tumbuh di ketinggian 1300 mpdl-1500 mpdl. Tumbuh tersebar di Malaysia, Sumatra, dan Jawa.
Perjalanan menemukan anggrek ini mengesankan. Tim harus melewati kawasan hutan milik Perhutani dengan sepeda motor, melalui jalur air. Bagi para rimbawan, jalur macam ini sudah akrab dengan roda sepeda motornya, bahkan mereka bisa melaluinya dengan sepeda motor bebek.
Jalur offroad ini berhenti di batas vegetasi yang tak mungkin lagi dilalui dengan kendaraan. Lalu kami jalan kaki sekitar 4 jam hingga menemukan satu kuntum sedang berbunga bagus. Satu saja, bunga seukuran kelingking ini sudah membayar lunas perjalanan yang cukup menantang.
Selain itu, momen ini menjadi ingatan sedih ketika sehari kemudian, jalur yang kami lalui tertutup abu. Erupsi tanggal 21 Desember 2021 yang menyebabkan 50-an jiwa meninggal.
Di jalur anggrek ini, saya merasakan paradoks Semeru. Di satu sisi, Semeru adalah keperkasaaan cincin api yang memuntahkan bencana dan melenyapkan desa-desa yang dilaluinya.
Di sisi lain, Semeru adalah rahim kesuburan tanah vulkanik yang menumbuhan hutan hujan termasuk anggrek di dalamnya. Dua sisi inilah yang juga diterima oleh masyarakat di kawasan Semeru sehingga ada ikatan yang menjadikan mereka tinggal dan menuliskan narasi hidup di kaki Semeru. Termasuk narasi sebuah orchidarium dibangun oleh orang-orang yang dulu para pemburu anggrek.
"Saya dulu pemburu anggrek. Bapak saya juga pemburu anggrek. Semua masyarakat di Pronojiwo juga nyari anggrek di hutan,” kata Andy Sami’an, warga Pronojiwo yang kini menjadi tim orchidarium.
Mereka mengambil anggrek di hutan bukan karena sengaja melanggar peraturan melainkan karena mereka tidak tahu bahwa tindakan tersebut merusak alam.
“Bukan hanya masyarakat yang tidak tahu. Kami sendiri, para petugas juga tidak semuanya tahu tentang anggrek. Bahkan membedakan anggrek dengan paku pun belum bisa. Bagaimana kita bisa menjaga sementara kita tidak tahu apa yang kita jaga?” kenang Toni.
Sejak 2016 itulah, Toni dan tim mulai merintis berdirinya orchidarium. Sebagai “Pak Tugas”, sebutan masyarakat untuk para rimbawan, Toni tinggal di masyarakat.
“Saya sudah lama ingin dipindah ke Ranu Darungan. Tahun 2016 saya akhirnya dipindah ke sini,” katanya. Kepindahan Toni ke tempat legendaris anggrek ini menjadi tonggak untuk merealisasikan rencana pembuatan taman anggrek.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR