Nationalgeographic.co.id—Kunjungan sultan ke masjid untuk menunaikan salat Jumat, merupakan salah satu prosesi paling megah dalam kehidupan Kekaisaran Ottoman.
Prosesi shalat Jumat disebut "Cuma Selamlığı" atau "Selamlık Resmi" dan memiliki aturan upacara yang ditetapkan, serta memiliki arti penting dari segi politik.
Sultan akan pergi ke masjid dengan kereta kerajaannya, diiringi oleh prajurit seremonial yang berdiri di sisi kiri dan kanannya, sementara orang-orang berbondong-bondong ke jalan untuk melihat "penguasa paling agung pada zamannya" secara langsung.
Prosesi ini menarik minat besar, tidak hanya dari penduduk lokal namun juga orang-orang asing yang berkunjung ke negara tersebut.
Selain itu, siapa pun yang hendak mengajukan permintaan ke sultan juga akan turut berkumpul di lapangan.
Ketika sultan menunaikan salat Jumat dan meninggalkan masjid, petugas khusus (sekretaris pribadi) akan mengumpulkan petisi masyarakat dan kemudian menyerahkannya kepada sultan.
Sesekali, mereka yang berada di barisan belakang, akan mengangkat sejumlah jerami yang terbakar atau mangkuk berisi kain gombal terbakar untuk menandakan bahwa ia juga memiliki petisi dan menarik perhatian petugas.
Secara metaforis, tindakan orang-orang yang membakar jerami atau kain gombal melambangkan bahwa mereka terbakar seperti api.
Belakangan, praktik tradisional ini dikenal sebagai "petisi api" atau "membakar jerami di kepala". Sehingga, mereka yang mengaku diperlakukan tidak adil oleh pegawai negeri akan menggunakan kalimat seperti “Saya akan membuat petisi api” atau “Saya akan membakar jerami,” untuk memperingatkan mereka.
Pilihan Terakhir
“Petisi Api” tidak khusus dilakukan hanya saat prosesi ibadah Jumat, namun juga dapat dilakukan setiap kali pengadu berjumpa dengan sultan.
Selama era Ottoman, mereka yang memiliki permintaan atau keluhan tentang pegawai negeri atau mengklaim ia dianiaya secara tidak adil atau tidak puas dengan keputusan pengadilan harus mengajukan permohonan kepada gubernur terlebih dahulu.
Jika mereka tidak dapat memperoleh jawaban dari gubernur, mereka kemudian dapat mengajukan ke Divan-ı Hümayun (Dewan Kekaisaran) di Istanbul.
Karena semua pejabat sebenarnya adalah wakil sultan, ia dipandang sebagai otoritas yang bisa menyelesaikan semua masalah. Sultan akan menganggap dirinya bertanggung jawab atas tindakan setiap pejabat yang telah ditunjuk olehnya.
Oleh karena itu, mengajukan petisi kepada sultan dianggap sebagai upaya terakhir. Siapa saja yang mengajukan permohonan kepadanya dapat menemukan solusi dengan cara apa pun.
Dalam hal ini, tidak ada pembedaan yang tidak adil berdasarkan jenis kelamin, agama atau kebebasan.
Setelah diperiksa oleh sultan, petisi akan diserahkan kepada otoritas terkait untuk diselesaikan dan hasilnya disampaikan kepada sultan. Secara umum, petisi itu sendiri dikirim ke wazir dan kemudian dipantau dengan cermat.
Suatu kisah, pada tahun 1648, tujuh kapal dagang Inggris membawa beberapa barang ke Istanbul. Menurut perjanjian perdagangan antara Kekaisaran Ottoman dan Inggris, bea cukai 3% seharusnya dikenakan pada mereka, namun yang terjadi mereka ditagih sebesar 6%.
Selain itu, harga barang yang berjumlah sekitar 15.000 kuruş (satuan mata uang standar di Kekaisaran Ottoman hingga pertengahan abad ke-19, juga disebut sebagai piastres) juga tidak dibayarkan.
Baca Juga: Hagia Sophia, Wajah Harmoni Peradaban Umat Manusia dalam Budaya Turki
Baca Juga: Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama
Baca Juga: Simalakama Kekaisaran Ottoman Menjinakkan Vlad Dracula 'Sang Penyula'
Baca Juga: Enderun Mektebi: Sekolah Istana Tersohor Sepanjang Kekaisaran Ottoman
Hal tersebut telah diadukan, namun pemilik kapal tidak dapat memperoleh hasil apa pun atas permohonan pengaduan mereka. Mereka benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, hingga Sir Thomas Bendish, duta besar Inggris di Istanbul, menunjukkan jalan kepada mereka.
Sebuah kapal layar mengibarkan bendera putih di tengah laut di depan lingkungan Galata. Seluruh kru berbaris di geladak dan membakar api dalam ember tembaga di atas kepala mereka dan mulai berteriak.
Pemandangan itu terlihat dari Istana Topkapı. Segera, orang-orang dikirim ke kapal untuk mengetahui apa masalahnya.
Kemudian Sultan Ibrahim memperbaiki masalah tersebut dan mengakhiri ketidakadilan tersebut dengan mengirimkan Çavuşbaşı Ibrahim Ağa, seorang perwira Janisari yang bekerja di istana, ke Wazir Agung Hezarpare Ahmed Pasha.
“Petisi Api” telah berlangsung sejak lama. Tradisi ini juga ada pada zaman Bizantium. Mereka yang mengeluhkan administrasi atau keputusan hakim dapat memberi tahu kaisar saat dia pergi ke Gereja Hagia Sophia atau tempat lain.
Source | : | Daily Sabah |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR