Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Ottoman yang kaya nan kuat, tidak akan terlepas dari jejak harem sebagai salah satu faktor keberlangsungan peradabannya. Para sultan kekaisaran sangat lekat hubungannya dengan para harem.
Mulanya, harem adalah wanita budak. Mereka merupakan wanita rampasan perang yang kemudian diperjualbelikan sebagai budak belian di pasar budak. Beberapa dari mereka kemudian mengabdi sebagai pembantu kerajaan muslim.
Ajaran Islam yang menentang perbudakan, lantas membuat status para budak wanita dihapuskan. Sedangkan yang difavoritkan dapat menjadi selir—atau yang akrab dengan istilah harem—di Kekaisaran Ottoman.
Bagaimanapun, harem tidak dapat seenaknya tidur dengan sultan. Mereka memiliki tempat tersendiri, tempat di mana para harem kekaisaran berkumpul.
Y Izzetin Baris dan Gunnar Hillerdal menulis dalam Journal of Medical Biography berjudul "Tuberculosis in the Ottoman harem in the 19th century" (2009), bahwa mereka tinggal dalam rumah khusus yang disebut Serraglio atau "Rumah Kebahagiaan."
"Tempat itu sangat ramai, berisi sekitar 200–1.200 penghuni (harem) di dalamnya," imbuhnya. Sayangnya, kepadatan itu tidak dibarengi dengan sanitasi dan ventilasi yang memuaskan.
Dengan kondisi demikian, yang terjadi hanya akan menciptakan kondisi buruk. Malah dapat mengoptimalkan penyebaran wabah epidemi hingga penyakit menular. Benar saja, memasuki abad ke-18 dan ke-19, kondisi Ottoman semakin memburuk.
Selain terlibat di banyak konflik internasional dan sekelumit permasalahan eksternal, Kekaisaran Ottoman juga menghadapi permasalahan internal yang cukup serius. Kekaisaran menghadapi wabah penyakit menular, termasuk kolera dan wabah penyakit yang berasal dari Timur Tengah dan Persia.
Salah satu lokasi yang diduga menjadi persebaran wabah paling signifikan adalah Serraglio. Meskipun rumah para harem ini dikenal mewah, tetapi tidak sebanding dengan kebersihan dan ventilasinya.
Tatkala wabah penyakit Tuberculosis (TBC) menerjang, persebarannya sulit dikendalikan. Hal paling utama dapat dilihat dari asal para harem (pasar budak) yang kemungkinan sudah terjangkit TBC lebih dulu, sebelum akhirnya menyebarluaskan virusnya di tempat hunian para harem.
Baca Juga: Mihrimah Sultan: Rela Menggunakan Uang Pribadi Untuk Kemajuan Ottoman
Baca Juga: Surat-Surat Kuno Mengungkap Kisah Cinta Sultan Kekaisaran Ottoman
Baca Juga: Lima Fakta Penting yang Kerap Terlewat tentang Kekaisaran Ottoman
Kasus TBC pertama yang tercatat dan diketahui disebarkan oleh harem adalah dari Martha Aimee du Buc de Ribery yang berasal dari keluarga kaya Prancis yang tinggal di Pulau Martinik.
"Perompak Aljazair memperbudak Martha Aimee du Buc de Ribery pada tahun 1789 hingga akhirnya dia dipilih untuk menjadi harem sultan," tambahnya. Ia kemudian menjadi istri Sultan Abdulhamid I dan dengan demikian menjadi ibu angkat dari calon sultan, Mahmud II.
Tidak ditemukan data konkret seberapa parah TBC yang sedang hinggap dalam tubuh Martha Aimee du Buc de Ribery, yang jelas dia wafat di usia muda. Ia dinyatakan wafat karena TBC pada usia 26 tahun.
Nahasnya, ketika Mahmud II naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1808, ia menderita TBC, yang didapat dari ibu angkatnya, Aimee de Buc de Ribery. Sepanjang kepemimpinannya, Mahmud II bergelut dengan penyakit TBC dalam tubuhnya.
Sultan Mahmud II akhirnya wafat di usia 54 tahun, saat Kekaisaran Ottoman sedang berada di ujung tanduk. TBC menggerogoti tubuhnya, meski sejarawan telah sepakat bahwa ia tewas setelah mendapat serangan delirium tremens akibat alkoholisme kronis.
Kendati demikian, TBC diduga kuat memperburuk kondisi kesehatannya. Ia meninggalkan 19 putra dan 17 putri dari 13 wanita haremnya, tetapi hanya dua putra dan empat putri saja yang selamat dari penularan TBC.
Setelahnya, Ottoman memiliki empat sultan yang hidupnya direnggut oleh wabah menular Tuberculosis (TBC). "Jadi TBC dan kemungkinan infeksi lainnya, sangat mungkin merupakan salah satu faktor di balik kemunduran Kekaisaran Ottoman," tutupnya.
Dengan kata lain, harem di satu sisi dapat menjadi "pembahagia" para sultan, tetapi mereka menjadi akar dari kehancuran kekaisaran akibat terjadinya persebaran wabah penyakit dan TBC yang mematikan.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Source | : | Journal of Medical Biography |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR