Oleh Nur Muhammad Ahmad
Nationalgeographic.co.id—Motor yang saya kendarai melaju menyusuri pesisir pantai selatan Nangalili. Sesekali saya menarik rem, menghindari jalan berlubang dan tumpukan kerikil, juga beberapa anak sungai yang membelah badan jalan.
Matahari tegak di atas kepala saat saya tiba di Dintor, kampung persinggahan menuju Pos 1 Wae Lomba. “Dulu kendaraan bisa langsung sampai ke Pos 1, Pak, tapi sekarang tidak boleh lagi. Harus menggunakan jasa ojek warga setempat,” terang Flori, pengemudi ojek dan pemandu lokal saya menuju Kampung adat Waerebo.
Trekking dimulai dari Pos 1 Wae Lomba (761 mdpl). Sebagian kondisi jalan menuju Pos 2 cenderung lebih baik dan sudah dirapikan menggunakan susunan batuan alam. Beberapa area berbahaya juga dipasang pembatas tali.
Namun sebagian lagi hingga menuju kampung adat masih berupa jalan alami. Ketika tiba di Pos 2 Pocoroko (1.099 mdpl), kabut tebal memeluk lembah, menyisakan sedikit pucuk pepohonan.
Di perjalanan, kami berjumpa dengan celepuk flores di dahan pohon. Celepuk dan gagak flores adalah dua burung endemik Flores yang mendiami hutan ini. Sepanjang jalan juga banyak anggrek hutan. Hari hampir petang saat kami tiba di Pos 3 Nampe Bako, untuk menuntaskan perjalanan ke Kampung Adat Waerebo.
Setiap tamu yang datang langsung diarahkan menuju mbaru gendang—rumah adat utama. Di sini akan dilakukan ritual waelu, upacara penyambutan, memohon doa keselamatan kepada leluhur agar tamu yang datang senantiasa dalam perlindungan.
Mbaru niang—salah satu rumah adat—sudah dipersiapkan untuk para tamu. Kasur-kasur berjejer di pinggir ruangan, juga bantal dan selimut tebal. Walau tak ada sekat atau kamar khusus, tapi areanya sudah dibatasi.
Tengah ruangan adalah tempat berkumpul untuk makan. Pada bagian belakang terdapat dapur, sedangkan area kamar mandi dibangun di luar bangunan utama. Hari ini cukup banyak wisatawan yang berkunjung.
Sejak sore, Mama Rita dan Mama Yovita duduk di depan tungku api, memanaskan air, menanak nasi, merebus telur, dan memasak sayur daun bayam untuk makan malam. Hari ini mereka bertugas melayani wisatawan. Mereka juga membawa produk mereka seperti kain tenun, kripik ubi, dan kopi kemasan untuk dipajang di galeri di tempat tamu menginap.
Saya menyambangi Bapak Alosius seusai bersantap malam. Ia sibuk menganyam nyiru. Alosius tinggal di niang gena jintam. Tepat di sebelah tempat tamu menginap. Di sana ada enam kepala keluarga dan enam tungku api. Setiap keluarga akan memasak masing-masing, lalu mereka semua akan bersantap bersama.
Matahari menyelinap di antara sela kabut yang memeluk erat lembah pagi ini. Alas jemur dibentangkan, biji kopi yang masih basah ditumpahkan dari dalam karung. Saya duduk di depan mbaru gendang bersama Bapak Lipus, menikmati secangkir kopi waerebo yang diracik langsung oleh Mama Yovita, istrinya.
“Di Waerebo ada 3 jenis kopi yang ditanam yaitu arabika, robusta, dan kolombia, namun yang paling banyak adalah arabika. Produksinya dalam satu tahun bisa mencapai 8 ton,” ungkapnya.
Di Waerebo kopi sudah menjadi bagian dari kebudayaan. Sebelum pesta panen, para pemilik kebun biasanya akan melakukan ritual waha, upacara meminta perlindungan agar tanaman kopi tidak dimakan hama. Dua ekor ayam dipotong. Ayam putih sebagai bentuk rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada Tuhan, sedangkan ayam biasa dipersembahkan untuk leluhur.
Perjalanan ke Waerebo selalu menyenangkan, merasakan sensasi menginap di rumah adat berkarakter arsitektur unik dan sarat filosofi.
Waktu menunjukkan pukul 12.30 saat saya tiba di Dapur Tara Flores. Salah satu komunitas pangan lokal di Labuan Bajo yang menyajikan masakan khas Manggarai. Lokasinya di alam terbuka hijau, asri dan sejuk, tak jauh dari jalan utama. Elisabeth Yani sang pemilik, menyapa saya dari kejauhan.
“Ke sini nana, langsung makan, ini sudah jam makan siang.”
Hari ini ada manuk cuing atau ayam asap, lomak—sayur daun singkong berlumur parutan kelapa seperti sayur urap atau lawar, nasi kolo, dan sambal nanas.
Nasi kolo adalah menu yang selalu hadir di atas piring makan saya. Nasi bakar dibungkus bambu muda dan kedua ujungnya ditutup daun enau. Dibakarnya pun menggunakan tungku api, menimbulkan aroma asap kayu bakar yang khas. Wangi dan amat lezat.
Pada suatu siang saya berkunjung ke Rumah Tenun Baku Peduli. Henny Dinan, pengampu rumah tenun, seketika tersenyum melihat kedatangan saya. Ia mengajak saya menongkrong di tempat pewarnaan benang. Benang yang telah dicelup ke pewarna dan telah kering, digantung rapi di sepasang bilah bambu.
Secara fisik, rumah tenun menjadi tempat produksi dan galeri penjualan kain tenun. Namun, “selain melanjutkan warisan pengetahuan keterampilan keluarga, yang kami lakukan di sini bukan hanya tentang mengolah kain, tapi juga terkait dengan pewarna, lingkungan, dan merawat pengetahuan itu sendiri,” terang Henny kepada saya. Ia dan teman-temannya mengumpulkan kembali cerita tenun.
“Kami bikin riset periodisasi kain dari tahun ke tahun, lalu kami membuat ulang kain tersebut. Dengan cara begitu, orang bisa melihat transisi desain kain itu seperti apa yang jejaknya sekarang sudah tidak ada,” jelasnya. Cerita-cerita ini perlu dihidupkan untuk melawan narasi keliru yang beredar, seperti tidak pernah adanya tenun Labuan Bajo, yang ada tenun Manggarai.
Baca Juga: Apakah Manusia Purba Homo floresiensis Masih Hidup di Indonesia?
Baca Juga: Manusia Bermigrasi dari Sulawesi Selatan ke Flores Lewat Selayar
Baca Juga: Singkap Musik Beghu yang Sakral dan Tersembunyi di Pedalaman Flores
Baca Juga: Janji Bagi Nusa Bunga
Sepanjang 2012–2016, program mereka adalah pemberdayaan perempuan dengan menambah pengetahuan mereka tentang kombinasi benang, pengadaan benang, dan penjualan.
“Pewarna alam identik dengan alam itu sendiri,” jelas Ney, panggilan akrabnya. “Bagaimana kita melakukan pewarnaan alam kalau hutan alam tidak ada?” tanyanya. “Beberapa pewarna bisa dibudidayakan. Indigo, kapas, mengkudu, semua bisa ditanam sendiri. Tapi pohon Loba itu tidak bisa kita budidayakan, dan alam sendiri yang menentukan di mana tempat dia seharusnya tumbuh,” ungkapnya.
Sejatinya, tenun bukan hanya sekadar selembar kain, tetapi ada filosofi yang dalam di sana. Belajar tentang pewarnaan, artinya kita sedang belajar tentang alam semesta.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR