Nationalgeographic.co.id—Seks dan kekuasaan terkait erat. Keterkaitan ini terlihat jelas di wilayah-wilayah bekas jajahan Belanda.
Sophie Rose, mahasiswi Ph.D. di Leiden University, telah menyelidiki bagaimana hubungan seksual dan cinta memengaruhi struktur kekuasaan abad kedelapan belas di sana.
"Anda dapat melihat bahwa ada pertikaian terus-menerus tentang siapa yang berdiri di mana dalam hierarki sosial," ujar Rose seperti dikutip dari keterangan tertulis Leiden University.
Ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan Perusahaan Hindia Barat Belanda (WIC) mulai berkeliling dunia pada abad ke-17, wanita dan keluarga Eropa pada awalnya ikut serta.
Orang-orang Belanda seharusnya membentuk dasar kerajaan seberang laut baru yang mengendalikan semua perdagangan, tetapi praktiknya terbukti bandel.
“Apalagi di wilayah VOC (sekarang Indonesia), mereka sama sekali tidak senang dengan tipe perempuan yang pergi ke sana,” kata Rose.
“Terlalu sering mereka datang dari lapisan masyarakat yang lebih rendah. Pada saat yang sama, Anda menemukan bahwa kehadiran perempuan di atas kapal dipandang sebagai risiko."
"Bukan hal aneh jika pemerkosaan terjadi, sehingga akhirnya VOC melarang sebagian besar perempuan Eropa bepergian ke daerah itu."
Sementara itu, di belahan dunia lain, di Suriname sekarang, hal yang kurang lebih sama terjadi. Bedanya, perempuan Eropa di sana sering memutuskan sendiri bahwa kehidupan seperti ini bukan untuk mereka.
"Sampai batas tertentu, WIC terus mendorong perempuan untuk datang, tetapi banyak orang Eropa yang tidak senang dengan iklim di sana. Mereka jatuh sakit, dan angka kematian tinggi. Banyak orang memutuskan untuk pergi lagi segera setelah mereka tiba."
Jadi selama beberapa abad pertama, hanya sedikit wanita Eropa yang ditemukan di wilayah koloni.
"Menjadi kebijakan untuk mendorong atau setidaknya mentolerir hubungan dengan wanita lokal. Terutama di Asia, ini pada awalnya sebagian besar adalah wanita bebas, yang, misalnya, menghargai manfaat hubungan dengan pria yang memiliki jaringan perdagangan baru yang besar," kata Rose.
Source | : | Leiden University |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR