“Orang-orang ini benar-benar bebas,” kata Baabar, penulis dan ahli sejarah terpandang yang menulis tentang karakter bangsa Mongol.
Dia melanjutkan, “Bahkan, meskipun mereka sudah tinggal di UB selama bertahun-tahun, mereka masih berjiwa nomaden. Mereka berbuat sesuai dengan yang ingin mereka lakukan, pada waktu yang mereka inginkan. Perhatikan saja orang yang sedang menyeberang jalan. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk memperhatikan orang lain, bahkan mobil yang sedang melaju sekalipun.”
Pada suatu Sabtu pagi, Ochkhuu, Norvoo, dan kedua anak mereka kembali ke desa untuk menghabiskan akhir pekan di rumah orang tua Norvoo. Mereka kembali untuk menyiapkan ladang pertanian mereka menghadapi musim dingin.
Ochkhuu membantu mertuanya, Jaya, memotong jerami. Jaya sudah kehilangan sejumlah besar hewan ternak pada masa dzud yang terakhir—jumlah ternaknya susut dari seribu menjadi 300 ekor—tetapi dia bertekad untuk bangkit, mengandalkan pengalaman sebagai penggembala selama dan setelah masa pemerintahan komunis, yang dirindukannya.
“Tentu saja ada hal-hal yang buruk. Tetapi, pemerintah komunis melindungi kami dari bencana,” katanya. “Bahkan, sekalipun kita kehilangan semua hewan ternak, kita tidak akan sampai mati kelaparan.”
Meskipun mereka mendukung keputusan Ochkhuu dan Norvoo untuk pindah, Jaya dan istrinya, Chantsal, sering berkata betapa sepinya mereka tanpa anak dan menantu tinggal bertetangga dengan mereka. Namun, pindah ke UB sungguh tak terbayangkan.
“Saya tidak akan tahan seminggu pun tinggal di kota itu,” kata Jaya sambil merengut. “Terlalu bising, terlalu banyak bunyi-bunyian. Bisa-bisa saya sakit dan mati.”
Orang seperti Jaya dan Ochkhuu adalah penggembala ternak sejati, tidak seperti peternak lain yang gagal bertahan selama masa dzud, kata ahli sejarah Baabar.
Setelah tumbangnya pemerintahan komunis, ketika banyak pabrik pada masa Uni Soviet ditutup, ribuan orang meninggalkan UB untuk kembali ke kampung halaman mereka. Namun, “mereka sudah sepenuhnya lupa kehidupan kaum nomad, cara memelihara ternak, cara bertahan menghadapi musim dingin yang berat,” katanya.
Semua ini terjadi pada saat Mongolia, yang diperintah komunis hingga 1990, berupaya menata diri kembali di antara dua negara tetangga yang kuat, Rusia dan China, yang menindas mereka selama berabad-abad.
Nasionalisme—bahkan xenofobia—semakin marak, dan pihak asing terus disalahkan atas masalah yang dialami Mongolia. Selain itu juga para politisi lokal dan nasional yang secara luas dianggap, dengan benar, sama-sama korup.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR