Nationalgeographic.co.id—Dalam perjalanan sejarah, badai dan cuaca buruk juga turut berkontribusi dalam membentuk dunia hingga seperti sekarang ini.
Sejarawan telah lama mengamati hubungan antara lingkungan alam dan nasib peradaban. Keadaan darurat alam seperti kekeringan, banjir, dan gagal panen secara teratur menjerumuskan orang ke dalam kekacauan.
Di antara cuaca buruk yang membawa dampak signifikan bagi manusia adalah hujan es pada bulan Juli 1788 yang berlangsung selama tiga hari di Prancis.
Tahun-tahun tekanan iklim, ketidakstabilan keuangan, dan konflik politik bertemu secara brutal pada tahun 1788 dan 1789. Kekeringan yang parah pada musim semi tahun 1788 menyebabkan tanaman pokok lumpuh dan layu.
Pada tanggal 13 Juli 1788, salah satu badai es terparah dalam catatan sejarah melanda Prancis. Badai mengiris petak kehancuran yang menghantam dan menghancurkan ladang dan kebun anggur.
Kelangkaan biji-bijian membuat harga meroket, dan keluarga yang pernah menghabiskan 50 persen dari pendapatan mereka untuk makanan sekarang menggunakan lebih dari 90 persen anggaran rumah tangga mereka hanya untuk bertahan hidup. Harga roti yang sudah tinggi lantas melambung lagi.
Ekonomi kerajaan yang sudah goyah pun terjerumus dalam resesi. Ribuan pekerja perkotaan kehilangan pekerjaan dan upah mereka, sehingga memperburuk krisis sosial yang berkembang.
Di tengah buruknya masa panen pada 1788, konflik politik di antara elit atas reformasi keuangan, ekonomi dan politik mencapai puncaknya. Upaya Raja untuk memaksakan perubahan ditanggapi dengan perlawanan yang marah.
Rakyat secara psikologis terpukul oleh tekanan dan ketakutan selama bertahun-tahun itu siap untuk mendorong kebijakan monarki absolut yang tidak melayani rakyat. Tuntutan majelis nasional untuk mengatasi gunungan keluhan yang menumpuk tumbuh begitu keras sehingga raja akhirnya menyetujuinya.
Kemarahan rakyat lalu diarahkan pada Raja Louis XVI dan setahun kemudian terjadilah Revolusi Prancis yang membentuk dunia modern saat ini.
Diselamatkan badai
Inggris juga telah beberapa kali diselamatkan dari upaya pendudukan oleh cuaca buruk yang melumpuhkan musuh, sehingga kemudian muncul ungkapan "God is an Englishman."
Salah satu upaya pendudukan ini yaitu pada tahun 1744 ketika jenderal Prancis, Maurice de Saxe berencana menempatkan Pangeran Charles Edward Stuart. Sang Pangeran ini lebih dikenal sebagai Bonnie Prince Charlie di Inggris sebagai boneka Prancis.
Invasi Prancis ke Inggris Raya direncanakan pada Februari 1744, tak lama setelah deklarasi perang di antara mereka sebagai bagian dari Perang Suksesi Austria.
Pasukan invasi besar disiapkan dari Dunkirk pada Februari 1744. Namun, saat berlayar ke Selat Inggris, badai dahsyat telah mendorong mereka untuk kembali ke pelabuhan. Sebagian armada kapal angkatan laut dan angkutan transportasi mereka tenggelam diamuk badai ganas itu. Prancis memutuskan bahwa keadaan tidak mendukung invasi, sehingga menangguhkan upaya tersebut.
Kegagalan upaya invasi 1744 memainkan peran utama dalam perencanaan upaya Prancis berikutnya untuk menyerang Inggris, pada 1759, yang juga terbukti tidak berhasil. Prancis melupakan rencananya untuk menguasai Inggris yang kemudian terus memperluas wilayah koloninya.
Terjebak lumpur
Pasukan Nazi juga mengalami nasib sial akibat cuaca yang tidak bersahabat. Pada 2 Oktober 1941, Jerman memulai gelombang mereka ke Moskow, dipimpin oleh Grup Angkatan Darat ke-1 dan Jenderal Fedor von Bock. Petani Rusia di jalur tentara Hitler menggunakan kebijakan "bumi hangus".
Pasukan Hitler telah menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni, dan sejak awal itu telah menjadi dorongan tanpa henti ke dalam wilayah Rusia. Kemunduran pertama terjadi pada bulan Agustus, ketika tank-tank Tentara Merah memukul mundur Jerman.
Hitler menceritakan kepada Jenderal Bock pada saat itu: "Seandainya saya tahu mereka memiliki tank sebanyak itu, saya akan berpikir dua kali sebelum menyerang." Tapi tidak ada kata mundur untuk Hitler—dia percaya dia ditakdirkan untuk berhasil di mana orang lain gagal, dan merebut Moskow.
Meskipun beberapa jenderal Jerman telah memperingatkan Hitler agar tidak meluncurkan Operasi Typhoon karena musim dingin Rusia yang berat baru saja dimulai. Sejarah mengingat nasib yang menimpa Napoleon—yang terjebak dalam kondisi yang mengerikan, kehilangan banyak orang dan kuda.
Baca Juga: Waterloo, Pertempuran Terakhir Napoleon yang Berusaha Menguasai Eropa
Baca Juga: Baru Dua Bulan Kalah di Trafalgar, Prancis Berjaya di Austerlitz
Baca Juga: Tak Disadari, Kebun Anggur di Prancis Ini Adalah Kawah Meteorit
Baca Juga: Kisah Dua Orang Pangeran Makassar di Negeri Napoleon Bonaparte
Dorongan penyerangan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa tentara Jerman telah merebut kota Kiev pada akhir September. Kenyataan ini membuat Hitler menyatakan, "Musuh telah dihancurkan dan tidak akan pernah dapat bangkit kembali."
Jadi selama 10 hari, mulai 2 Oktober, Grup Angkatan Darat ke-1 melaju ke timur, semakin dekat ke ibu kota Soviet setiap hari.
Akan tetapi Rusia juga mengingat Napoleon, sehingga mulai menghancurkan segalanya saat mereka meninggalkan desa, ladang, dan pertanian mereka. Tanaman yang dipanen dibakar, ternak diusir, dan bangunan diledakkan, tidak menyisakan apa pun yang berharga untuk mendukung pasukan yang kelelahan. Tentara Hitler tidak mewarisi apa pun kecuali reruntuhan.
Don Snow memperkirakan kejatuhan ibukota negara asal Stalin itu bisa membawa kemenangan bagi Jerman. Namun cuaca buruk membuat tentara Jerman harus terjebak dalam kubangan lumpur sebelum akhirnya dilumpuhkan oleh suhu dingin dan badai salju.
Jutaan orang tewas dan terluka dalam peristiwa ini. Rusia akhirnya selamat dan upaya Jerman untuk memenangkan Perang Dunia II gagal.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR