Nationalgeographic.co.id―Dalam dunia hewan, serangga adalah salah satu spesies yang paling sukses di daratan. Jumlahnya melimpah dan hampir ada di setiap pelosok dunia, kecuali di lingkungan laut.
Terkait hal tersebut, ilmuwan dari Tokyo Metropolitan University telah mengajukan hipotesis mengapa serangga sangat langka di lingkungan laut.
Studi baru mereka tersebut telah dijelaskan di jurnal Physiological Entomology belum lama ini secara daring. Makalah tersebut diterbitkan dengan judul "Eco-evolutionary implications for a possible contribution of cuticle hardening system in insect evolution and terrestrialisation" yang merupakan jurnal akses terbuka.
Mereka sebelumnya menunjukkan bahwa serangga mengembangkan mekanisme kimia yang unik. Tujuannya untuk mengeraskan cangkangnya yang menggunakan molekul oksigen dan enzim yang disebut multicopper oxidase-2 (MCO2).
Sekarang, mereka berpendapat bahwa kemampuan serangga mengeraskan kulit tubuhnya memberi mereka kerugian di laut, sementara itu memberi keuntungan yang membantu mereka di darat, menempatkan MCO2 di jantung eko-evolusi serangga.
Serangga adalah beberapa organisme paling sukses di planet ini. Mereka dikatakan membuat biomassa paling banyak dari semua hewan darat dan memiliki dampak signifikan terhadap ekosistem global.
"Serangga adalah salah satu organisme paling sukses di Bumi karena kekayaan spesiesnya, biomassa global yang signifikan, dan dampaknya yang luas terhadap ekosistem," tulis para peneliti.
Namun, kelimpahan mereka diimbangi dengan kelangkaan mereka yang mengejutkan di laut. Serangga, sebaliknya, juga hampir tidak mungkin dapat ditemukan di lautan.
Sangat sedikit serangga yang menyebut laut sebagai rumah, meskipun nenek moyang biologis mereka berasal dari sana. Ini adalah misteri sains yang melingkupinya, yang telah coba dijawab oleh para ilmuwan selama bertahun-tahun.
Tapi cobat tebak. Para ilmuwan di dunia hingga saat ini belum menemukan jawaban yang memuaskan. Mengapa serangga sangat langka di lingkungan laut?.
Sekarang, para peneliti dari Tokyo Metropolitan University yang dipimpin oleh Asisten Profesor Tsunaki Asano telah mengusulkan solusi berdasarkan genetika evolusioner.
Filogenetik molekuler terbaru telah mengajarkan kita bahwa krustasea dan serangga adalah bagian dari keluarga yang sama, Pancrustacea, dan bahwa serangga adalah cabang yang meninggalkan laut dan beradaptasi dengan daratan.
Secara tradisional, kelas Insekta (atau Hexapoda termasuk spesies non-serangga) telah dikategorikan sebagai kelompok mandiri di dalam filum Arthropoda.
Penelitian filogenetik molekuler terbaru telah mengungkapkan bahwa serangga termasuk dalam kelas krustasea. Itu menunjukkan bahwa insecta bukanlah kelompok saudara dari Crustacea tetapi hanya subset dari Pancrustacea (atau Tetraconata).
Mereka berbagi fitur penting, kerangka luar yang terdiri dari lapisan lilin dan kutikula keras. Dalam pekerjaan sebelumnya, tim yang sama menunjukkan bahwa ketika serangga beradaptasi dengan lingkungan terestrial, mereka mengembangkan gen unik.
Gen unik itu yang menciptakan enzim yang disebut multicopper oxidase-2 (MCO2) yang membantu mereka mengeraskan kutikula menggunakan oksigen.
MCO2 memediasi reaksi di mana molekul oksigen mengoksidasi senyawa yang disebut katekolamin dalam kutikula, mengubahnya menjadi zat yang mengikat dan mengeraskan permukaan tubuh mereka.
Ini berbeda dengan krustasea yang mengeraskan kutikulanya dengan menggunakan kalsium dari air laut. Klaim tim adalah bahwa ini membuat tanah jauh lebih cocok untuk serangga karena banyaknya oksigen.
Berbeda dengan serangga yang dominan di darat dan udara, krustasea mendominasi lingkungan laut dan secara morfologis dianggap paling beragam dari semua taksa hewan
Laut sekarang menjadi lingkungan yang keras karena kekurangan oksigen dan banyaknya organisme yang beradaptasi lebih baik.
Tapi bukan hanya laut yang tidak lagi ramah bagi serangga. Pengerasan dan pengeringan kutikula melalui jalur MCO2 menghasilkan biomaterial yang tidak hanya melindungi, tetapi juga ringan.
Mereka mendalilkan bahwa ini mungkin mengapa serangga memperoleh kemampuan untuk memanjat tanaman, meluncur, dan akhirnya terbang.
Ini memungkinkan mereka untuk bermigrasi dan menempati ceruk yang sebelumnya kosong di ekosistem, kekuatan pendorong yang kuat yang menyebabkan jumlah mereka yang banyak.
Baik serangga maupun krustasea dapat dicirikan oleh kemampuan diversifikasinya untuk beradaptasi dengan berbagai lingkungan.
Mengingat keragaman dan dominasi di lingkungan terestrial (serangga) dan laut (krustasea), faktor apa yang mempengaruhi evolusi mereka dan distribusi selanjutnya setelah divergensi?
Sekali lagi, ini berbeda dengan krustasea, yang cangkangnya jauh lebih padat, dengan korelasi yang kuat antara kepadatan dan tingkat pengapuran.
Tentu saja, serangga bukan satu-satunya arthropoda yang beradaptasi dengan tanah, jadi jelas bahwa MCO2 tidak sepenuhnya diperlukan untuk sukses di “ceruk terestrial”.
Baca Juga: Pertama Kalinya, Ilmuwan Mengamati Katak Menyerbuki Tanaman Berbunga
Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Jumlah Serangga di Bumi Menurun Drastis?
Baca Juga: Dunia Hewan: Neuroptera, Keanekaragaman Serangga Periode Kapur
Baca Juga: Polusi Udara Mengancam Populasi Global Serangga dan Kemampuannya Kawin
Namun, sifat kutikula serangga berbicara banyak tentang keberhasilan mereka di lingkungan terestrial.Faktanya, tim percaya bahwa MCO2 mungkin merupakan ciri khas serangga.
"Sebelumnya, kami telah mengusulkan bahwa evolusi sistem biokimia untuk pembentukan kutikula adalah peristiwa adaptif utama yang memungkinkan serangga menjajah lingkungan terestrial," menurut mereka. “Tidak ada MCO2, tidak ada serangga.”
Pekerjaan mereka menjanjikan sorotan yang sama sekali baru tentang peran yang mungkin dimainkan oleh pengerasan kutikula dalam evolusi serangga dan terestrialisasi.
Source | : | EurekAlert!,Physiological Entomology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR