Nationalgeographic.co.id—Burung beo endemik di Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Kepulauan Pasifik, hingga Amerika Latin. Hampir semua spesiesnya punya kemampuan untuk meniru kata-kata dari suatu perilaku yang dilakukan manusia.
Seolah-olah perekam suara alami, burung beo bahkan sempat diceritakan merekam bahasa yang punah. Hal itu dilaporkan oleh ahli geografi dan naturalis Jerman Alexander von Humboldt dalam perjalanannya menjelajahi benua Amerika Utara dan Selatan pada 1799—1804.
Pekerjaan naturalis adalah mengamati flora, fauna dan ekologi sekitarnya. Selain itu juga mengambil sampel untuk pengamatan lebih rinci. Humboldt justru melebihi sekadar naturalis, tetapi juga menjadi antropolog dengan membuat catatan politik masyarakat lokal, budaya, iklim dan geologi tempat yang disinggahinya.
Banyak catatannya yang merekam secara rinci dari segala hal yang diamatinya, bahkan termasuk ketinggian dan pola arus laut.
Salah satu yang menarik adalah pertemuannya dengan burung beo di dalam hutan tropis Amazon di kawasan Venezuela tahun 1800. Di sini, ia bertemu dan tinggal dengan penduduk asli suku Karib daratan yang masih akrab dengan suku-suku di Karibia.
Di suku tersebut, Humboldt menyaksikan ada banyak burung beo jinak yang disimpan di kandang penduduk. Sebagian besar di antaranya telah diajari bicara.
Humboldt menemukan salah satu dari burung beo di sana menggunakan kata-kata yang berbeda dari bahasa suku setempat. Saat ditanya mengapa demikian, penduduk menjelaskan bahwa burung tersebut berasal dari suku tetangga yang sempat menjadi musuh suku Karib.
Suku Karib mengaku menyerang suku tersebut dengan kasar, dan mengusirnya dari tanah mereka sendiri. Mereka juga memburu beberapa anggota suku yang tersisa di sebuah pulau kecil terdekat. Suku itu pun punah bersama kenudayaan mereka, kecuali bahasanya yang ditiru oleh burung beo.
Humboldt pun mencatat secara fonetik 40 kata yang diucapkan burung beo tersebut. Cara ini menjadi upaya melestarikan bahasa yang punah. Sebab, pada masa itu alat perekam belum diciptakan sebelum dibuat oleh Édouard-Léon Scott de Martinville pada 1857, dan dikembangkan oleh Thomas Alva Edison.
Catatan itu terkumpul bersama hasil laporan penjelajahan Humboldt lainnya yang dikoleksi di Jerman.
Siapa suku pemilik bahasa yang dimaksud?
Lantas, dari cerita Humboldt dan burung beo, siapa pemilik bahasa itu? Dalam jilid kedua perjalanannya, Travels to the Equinoctial Regions of America yang diterbitkan setelah kembali ke Eropa, ia menceritakan pengalaman lainnya.
Humboldt sempat berjumpa dengan masyarakat adat suku Guahibo di sebuah perkampungan pelosok dekat air terjun sekitar Sungai Orinoco, Venezuela. Mereka menceritakan bahwa ada suku bernama Atures pernah bertikai dengan suku Karib.
"Orang-orang Atures yang suka berperang, yang dikejar oleh suku Karib, melarikan diri ke bebatuan yang menjulang di tengah Katarak Basar; dan di sana bangsa itu, yang sebelumnya begitu banyak jumlahnya, berangsur-angsur punah, begitu pula bahasanya," tulis Humboldt. Keluarga terakhir dari suku Atures diyakini masih ada pada tahun 1767.
"Selama perjalanan kami, seekor burung beo tua diperlihatkan di Maypures, yang menurut penduduknya—dan faktanya layak untuk diamati—bahwa mereka tidak mengerti apa yang dikatakannya, karena itu berbicara bahasa Atures," simpulnya.
Meski terkesan unik cerita perjumpaan Humboldt dengan burung beo penutur bahasa yang punah, ahli bahasa menganggap kisah ini adalah menunjukkan bahwa bahasa sangat rapuh dalam kepunahan. Oleh karena itu, penting bagi ahli bahasa dan pegiat pelestarinya untuk melakukan perekaman.
Sayangnya, konflik manusia sudah ada sejak dulu. Ada banyak bahasa yang punah sebelum alat perekaman suara mengumpulkannya, seperti bahasa Mesir kuno dan Sumeria kuno yang mungkin telah kehilangan penuturnya lebih dari 19 abad sebelumnya.
Lagi pula, burung beo bukan perekam bahasa manusia yang baik. Walaupun burung beo bisa mengikuti apa yang diucapkan manusia, dan juga mengeluarkan respon dengan konteks kejadian tertentu pada saat kata harus diucapkan, mereka tidak akan memahami artinya.
Ada banyak bahasa yang belum beraksara seperti masyarakat Venezuela saat dikunjungi Humboldt. Meskipun mungkin masyarakat suku adat yang berada di dalamnya bersebelahan, keragaman bahasa bisa membuat kata-kata dan fonetik tertentu punya arti yang beda.
UNESCO saat ini mencatat bahwa ada 3.000 bahasa terancam punah di akhir abad ke-21. Alat perekam suara dan tulisan yang memuat, mungkin bisa menyelamatkan bahasa yang punah untuk tetap diabadikan.
Namun, bahasa-bahasa tersebut adalah milik masyarakat adat yang mulai meninggalkan penuturannya. Pelestarian dari pemiliki bahasa diperlukan. Sebab, bahasa adalah salah satu penemuan manusia dalam evolusinya untuk membangun peradabab.
Source | : | Mental Floss |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR