Pada saat yang sama, Shuten Doji dan anak buahnya meminum sake yang diberikan oleh Raiko–sake ini merupakan pemberian dari tiga orang tua yang sebelumnya ditemui Raiko.
Kala menenggak sake Shuten Doji menjadi “gacor”. Ia berbicara tentang masa mudanya, mengatakan bahwa ia dulunya adalah seorang manusia.
“Ada beberapa variasi cerita pada saat ini, tetapi versi yang paling populer adalah bahwa Shuten Doji berlatih di kuil, tidak bergaul dengan teman-temannya, pemabuk, dan senang mengenakan topeng untuk menakut-nakuti orang,” jelas Richard.
“Tampaknya, hanya itu yang diperlukan untuk menjadi iblis, karena seiring berjalannya waktu, topeng itu menyatu dengan wajahnya.”
Singkat cerita, Shuten Doji melarikan diri ke hutan, ia sedikit demi sedikit mengumpulkan sekelompok orang untuk menjadi pasukannya.
Sementara itu, Shuten Doji terus mengatakan bahwa setan tidak berbohong. Hanya manusia yang berbohong.
Akhirnya, Shuten Doji dan pasukannya pergi tidur. Mereka mempersilahkan Raiko dan kelompoknya untuk menginap.
Ketika Shuten Doji sedang terlelap, Raiko masuk ke kamarnya mengenakan pelindung kepala ajaib dan dengan kejinya memenggal kepala Shuten Doji.
Kepala itu memekik dan terbang ke udara, berubah menjadi bentuk aslinya yang bertanduk. Tidak menyerah, kepala itu justru menyerang terbang ke arah Raiko, menggertakkan gigi, tetapi hanya memantul dari tutup kepala pelindung Raiko dan jatuh ke lantai.
Dalam pergolakan kematiannya, kepala Shuten Dōji mengulangi bahwa “tidak seperti manusia, setan tidak berbohong,” dan berakhir.
Dengan penuh kemenangan, Raiko dan anak buahnya mengembalikan para tawanan yang tidak dimakan kembali ke Kyoto. Mereka mendapatkan hadiah berupa uang dan beberapa wanita.
Menurut Richard, kisah Shuten Doji adalah salah satu kisah paling ikonik di Jepang. “Kisah ini telah dikatalogkan dalam cetakan balok kayu yang disimpan di British Museum, Smithsonian, dan Met,” terang Richard.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR