Ia mengatakan, sejauh ini belum ada persoalan apa pun. Toleransi serta rasa saling menghormati antara pendatang dan masyarakat setempat sudah terbangun. Contohnya, semua masyarakat yang datang sudah berpakaian yang baik dan sopan sesuai dengan adat istiadat.
Dirinya juga mengaku terkagum-kagum bahwa Desa Wayu dapat menarik perhatian banyak pihak, bahkan investor untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata.
“Kami ingin sebenarnya menyambut para tamu Festival Lestari 5 ini dengan upacara buah durian yang memang sedang musimnya. Sayang waktunya sempit. Lain kali, kapan saja ingin datang, kami akan menyambut,” ujarnya.
Menjadi siasat Kabupaten Sigi untuk tumbuh
Amir melanjutkan bahwa Desa Wayu juga menjadi saksi bencana alam berupa gempa, likuifaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah. Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kota Palu terdampak parah oleh bencana yang disebabkan oleh berderaknya Sesar Palu Koro—sesar aktif yang membelah punggung Pulau Sulawesi.
Baca Juga: Dorong Investasi untuk Pembangunan Berbasis Lestari, Kabupaten Sigi Gelar Festival Lestari 5
“Pada 2018 itu (bencana) terjadi. Kami sedang ada kejuaraan. Untungnya, kami terbang pagi dan landing di pantai yang terkena tsunami itu pada siang hari sebelum waktu salat Jumat. Kami ingat sekali, bagaimana jika kami terlambat landing sepersekian menit saja. Sudah pasti semua dari kami jadi korban,” kisah Amir.
Meski demikian, ia mengatakan tak sedikit penerbang yang gugur akibat bencana tersebut. Kebanyakan dari mereka justru penerbang yang sudah sampai di hotel untuk bersiap mengikuti acara lainnya.
“Kami bantu cari nama-nama yang jadi peserta kejuaraan itu. Para peserta yang belum masuk hotel bisa berlarian menyelamatkan diri. Beberapa orang tidak sempat,” kata Amir tercenung.
Gempa tersebut, ditambah dengan badai Covid-19, membuat warga Desa Wayu juga terpengaruh secara ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan lokasi wisata Paralayang Desa Wayu diharapkan menjadi siasat yang tepat untuk menggerakkan kembali roda ekonomi warga.
Gotong royong yang dilakukan antara Pemprov Sulawesi Tengah, Pemkab Sigi, komunitas pegiat paralayang, dan warga setempat telah menghasilkan sebuah potensi besar. Berkembangnya Desa Wayu sebagai lokasi wisata paralayang diharapkan juga tetap memperhatikan keberlanjutan alam dan kesejahteraan warga Desa Wayu.
Keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan Desa Wayu sebagai destinasi wisata aerosport ditanggapi positif oleh klub-klub paralayang di Kabupaten Sigi, yakni Sigi Paralayang, Maleo Paralayang, dan Salena Paralayang.
Abdul Wahid, atlet senior dari klub Maleo Paralayang mengatakan bahwa anugerah alam yang diberikan Tuhan di Desa Wayu tidak boleh disia-siakan. Menyambut upaya pemkab klub-klub paralayang pun melakukan pembinaan dan upaya regenerasi di dalam organisasinya.
“Buat apa kita punya spot terbaik tapi tidak ada atletnya?,” kelakar Abdul.
Pembinaan dan regenerasi saat ini tengah berjalan. Warga sekitar Desa Wayu juga menjadi pendukung terbesar tumbuhnya olahraga paralayang di Kabupaten Sigi.
“Jangan kira atlet paralayang datangnya dari luar desa ini saja. Sekarang sudah ada lho lima atlet paralayang yang asalnya dari Desa Wayu. Mereka sudah berprestasi dan mengharumkan nama daerah,” kata Abdul.
(Kontributor Foto: Joshua Marunduh/Teks: Basri Marzuki)
Penulis | : | Sheila Respati |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR