Nationalgeographic.co.id – Anugerah Tuhan yang tak ternilai bergelimangan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kabupaten seluas 5.197 km persegi tersebut dianugerahi tanah yang subur sehingga hasil pertanian melimpah. Keragaman seni dan budayanya juga membentuk identitas Sigi yang unik.
Tak hanya itu, bentang alam di kabupaten yang merupakan bagian dari Cagar Biosfer Lore Lindu tersebut menakjubkan. Pemandangan barisan Pegunungan Gawalise di sisi barat, yang sekaligus menjadi pembatas antara Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Barat, mengundang decak kagum.
Di barisan Pegunungan Gawalise tersebutlah terdapat sebuah desa bernama Wayu yang dikenal dengan pemandangan bak negeri di atas awan. Secara administratif, Desa Wayu berada dalam wilayah Kecamatan Marawola Barat.
Desa yang berpopulasi 389 jiwa tersebut terletak pada ketinggian kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Desa Wayu bukan desa biasa yang menawarkan pemandangan dari atas bukit, melainkan surga bagi pencinta olahraga aerosport, khususnya paralayang.
Bagaimana tidak, sambil melakukan olahraga yang membutuhkan nyali besar itu, penerbang paralayang dapat menikmati pemandangan alam empat dimensi. Lembah, sungai, pegunungan, dan laut tersaji dengan apik dari ketinggian.
Baca Juga: Festival Lestari 5, Langkah Menguatkan Perda Sigi Hijau
Tidak heran, Federasi Aerosport Dunia yang berbasis di Prancis melabeli Desa Wayu sebagai salah satu spot terbaik di dunia untuk berparalayang.
Oleh karena itu, Desa Wayu menjadi salah satu potensi yang “dipamerkan” Kabupaten Sigi dalam Festival Lestari 5 yang dihelat oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada 23-25 Juni 2023. Berparalayang di Desa Wayu menjadi salah satu rangkaian acara dalam festival pada Kamis (22/6/2023).
Ketua Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI) Sulawesi Tengah, Asgar, yang hadir dalam rangkaian acara tersebut mengatakan keistimewaan paralayang di Desa Wayu tak semata pemandangan bentang alam yang indah.
Menurutnya, Desa Wayu memiliki unsur-unsur penting pendukung olahraga tersebut. Sebut saja, thermal atau panas udara. Untuk menaikkan ketinggian parasut, penerbang paralayang tak hanya membutuhkan dorongan angin, tetapi juga thermal.
“Desa Wayu adalah satu-satunya tempat di Indonesia, bahkan di Asia, dengan spesifikasi thermal yang bersesuaian dengan olahraga paralayang. Itulah alasan mengapa Federasi Aerosport Dunia menilai Desa Wayu sebagai salah satu tempat terbaik untuk berparalayang di dunia,” terang Asgar.
Dengan keistimewaan tersebut, Desa Wayu pertama kali ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan kejuaraan paralayang berskala internasional pada 2016.
“Setelah 2016, ada dua kali kejuaraan berskala internasional terselenggara di Desa Wayu, yakni pada 2018 dan terakhir pada 2020 lalu. Belum termasuk kejuaraan-kejuaraan berskala nasional, regional, dan lokal,” tambahnya.
Bahkan, kata Asgar, tidak hanya para pencinta olahraga dan atlet-atlet paralayang yang tertarik oleh magnet Desa Wayu, tetapi juga para avonturir dari seluruh dunia. Tak sedikit dari mereka menjadikan Desa Wayu sebagai destinasi yang mesti dipijak setidaknya sekali dalam seumur hidup.
Dikembangkan sebagai lokasi wisata petualangan
Pengakuan dunia untuk Desa Wayu sebagai spot terbaik untuk olahraga paralayang tidak disia-siakan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi. Kini, Desa Wayu tengah ditata dan dikembangkan menjadi kawasan wisata petualangan.
Thermal, angin kencang, langit yang bersih dari awan, serta pemandangan empat dimensi diramu dengan keragaman budaya dan komoditas unggulannya, yakni kopi dan durian.
Fasilitas untuk wisatawan pun mulai dibangun di Desa Wayu, mulai dari gazebo tempat melihat pemandangan dari ketinggian, rumah makan, toilet, hingga sarana penginapan. Beberapa pekan terakhir, Pemkab Sigi pun memulai proyek perbaikan jalan agar akses ke Desa Wayu lebih baik.
Namun, Amir Mahmud, Ketua FASI Kabupaten Sigi, bercerita bahwa para pencinta paralayang baru menjajaki Desa Wayu pada 2007 hingga 2008. Itu pun penuh perjuangan.
Awalnya, masyarakat setempat tidak menyadari potensi desanya sebagai surga paralayang.
“Warga takut. Bagaimana dengan tanaman jagung kami? Tanaman kemiri kami? Kami mengerti karena daerah ini dijadikan lahan jagung dan kemiri yang merupakan sumber penghasilan warga. Akhirnya dilakukan dialog-dialog dengan masyarakat dan terjadilah tempat wisata Paralayang Desa Wayu ini,” kata Amir.
Andi Lasippi, Majelis Adat Kecamatan Marawola, mengatakan bahwa pihaknya memahami hal tersebut. Masyarakat sebenarnya mendukung pembukaan lahan di Desa Wayu ini sebagai area wisata paralayang, tetapi memang diperlukan dialog yang baik.
“Hal ini berkaitan dengan budaya adat kami. Saat ini, sudah ada saling pengertian dan kesepakatan. Kami selaku masyarakat adat di Desa Wayu berusaha sedapat mungkin menyambut tamu-tamu yang datang, tetapi para pendatang juga harus menghargai budaya dan adat yang dipercayai oleh masyarakat kami,” ujarnya.
Ia mengatakan, sejauh ini belum ada persoalan apa pun. Toleransi serta rasa saling menghormati antara pendatang dan masyarakat setempat sudah terbangun. Contohnya, semua masyarakat yang datang sudah berpakaian yang baik dan sopan sesuai dengan adat istiadat.
Dirinya juga mengaku terkagum-kagum bahwa Desa Wayu dapat menarik perhatian banyak pihak, bahkan investor untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata.
“Kami ingin sebenarnya menyambut para tamu Festival Lestari 5 ini dengan upacara buah durian yang memang sedang musimnya. Sayang waktunya sempit. Lain kali, kapan saja ingin datang, kami akan menyambut,” ujarnya.
Menjadi siasat Kabupaten Sigi untuk tumbuh
Amir melanjutkan bahwa Desa Wayu juga menjadi saksi bencana alam berupa gempa, likuifaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah. Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kota Palu terdampak parah oleh bencana yang disebabkan oleh berderaknya Sesar Palu Koro—sesar aktif yang membelah punggung Pulau Sulawesi.
Baca Juga: Dorong Investasi untuk Pembangunan Berbasis Lestari, Kabupaten Sigi Gelar Festival Lestari 5
“Pada 2018 itu (bencana) terjadi. Kami sedang ada kejuaraan. Untungnya, kami terbang pagi dan landing di pantai yang terkena tsunami itu pada siang hari sebelum waktu salat Jumat. Kami ingat sekali, bagaimana jika kami terlambat landing sepersekian menit saja. Sudah pasti semua dari kami jadi korban,” kisah Amir.
Meski demikian, ia mengatakan tak sedikit penerbang yang gugur akibat bencana tersebut. Kebanyakan dari mereka justru penerbang yang sudah sampai di hotel untuk bersiap mengikuti acara lainnya.
“Kami bantu cari nama-nama yang jadi peserta kejuaraan itu. Para peserta yang belum masuk hotel bisa berlarian menyelamatkan diri. Beberapa orang tidak sempat,” kata Amir tercenung.
Gempa tersebut, ditambah dengan badai Covid-19, membuat warga Desa Wayu juga terpengaruh secara ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan lokasi wisata Paralayang Desa Wayu diharapkan menjadi siasat yang tepat untuk menggerakkan kembali roda ekonomi warga.
Gotong royong yang dilakukan antara Pemprov Sulawesi Tengah, Pemkab Sigi, komunitas pegiat paralayang, dan warga setempat telah menghasilkan sebuah potensi besar. Berkembangnya Desa Wayu sebagai lokasi wisata paralayang diharapkan juga tetap memperhatikan keberlanjutan alam dan kesejahteraan warga Desa Wayu.
Keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan Desa Wayu sebagai destinasi wisata aerosport ditanggapi positif oleh klub-klub paralayang di Kabupaten Sigi, yakni Sigi Paralayang, Maleo Paralayang, dan Salena Paralayang.
Abdul Wahid, atlet senior dari klub Maleo Paralayang mengatakan bahwa anugerah alam yang diberikan Tuhan di Desa Wayu tidak boleh disia-siakan. Menyambut upaya pemkab klub-klub paralayang pun melakukan pembinaan dan upaya regenerasi di dalam organisasinya.
“Buat apa kita punya spot terbaik tapi tidak ada atletnya?,” kelakar Abdul.
Pembinaan dan regenerasi saat ini tengah berjalan. Warga sekitar Desa Wayu juga menjadi pendukung terbesar tumbuhnya olahraga paralayang di Kabupaten Sigi.
“Jangan kira atlet paralayang datangnya dari luar desa ini saja. Sekarang sudah ada lho lima atlet paralayang yang asalnya dari Desa Wayu. Mereka sudah berprestasi dan mengharumkan nama daerah,” kata Abdul.
(Kontributor Foto: Joshua Marunduh/Teks: Basri Marzuki)
Penulis | : | Sheila Respati |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR