Nationalgeographic.co.id - Tsukioka Yoshitoshi merupakan salah satu seniman termasyhur Kekaisaran Jepang di zamannya. Demi karyanya yang penuh akan darah, ia rela mempertaruhkan nyawa untuk melihat pembantaian dari dekat.
Yoshitoshi lahir dengan nama Owariya Yonejiro di Edo (sekarang Tokyo) pada tanggal 30 April 1839. Ayahnya adalah seorang pedagang yang cukup kaya sehingga mampu membeli sebuah tempat dalam daftar keluarga samurai–dan karenanya mendapat gelar samurai dari klan yang kesulitan secara finansial.
Pada usia 11 tahun, ia magang pada pembuat cetakan Utagawa Kuniyoshi, yang rumah produksinya mengkhususkan diri dalam penggambaran adegan pertempuran yang heroik.
“Di sanggar Kuniyoshi, Yoshitoshi belajar menggambar figur manusia dan hewan dari model hidup (praktik agak tidak biasa, yang diadopsi Kuniyoshi dari Barat),” tulis Eve Bigaj, pada laman Rabbit Hole. Ia juga membaca koleksi-koleksi gurunya, serta menyalin desain.
Di luar rumah produksi, sejarah sedang terjadi. Pada tahun 1853, tiga tahun setelah dimulainya masa magang Yoshitoshi, Komodor Matthew Perry berlayar ke Teluk Edo.
Kedatang Perry bermaksud menuntut agar Jepang membuka perbatasannya untuk berdagang dengan AS. Shogun yang kala itu berkuasa, menuruti permintaan Perry, dan tahun-tahun berikutnya terjadi inflasi besar-besaran, epidemi, dan kerusuhan.
Seolah belum cukup, pada tahun 1854-1855 serangkaian gempa bumi dahsyat memorak-porandakan Kekaisaran Jepang.
Ketika gempa bumi Edo 1855 melanda, Kuniyoshi baru saja pulang dari teater kabuki. Ia baru saja menyaksikan pertunjukan kisah mengerikan dari Adachi Moor, seorang penyihir kanibal yang memangsa para pengunjung di rumahnya, terutama wanita hamil.
Gempa bumi yang sangat besar itu telah menghancurkan belasan ribu bangunan serta menewaskan ribuan jiwa.
“Ketika dia tiba di rumah, murid-muridnya (termasuk Yoshitoshi yang berusia 16 tahun) sudah mengira dia [Kuniyoshi] telah meninggal,” kata Eve.
Beberapa bulan kemudian (atau mungkin pada malam itu juga), Kuniyoshi menderita strok. Meskipun ia masih hidup selama enam tahun lagi, ia hampir tidak membuat karya lagi setelah gempa bumi.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR