Nationalgeographic.co.id—Harem kekaisaran ada sejak zaman kuno dan menjadi saksi naik turunnya sebuah dinasti. Contohnya harem Kekaisaran Tiongkok. Kehidupan di harem Kekaisaran Tiongkok dibayangkan sebagai salah satu kemewahan dan kenyamanan.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu tertutup dan di bawah fasad gemerlap gelar kerajaan? Mengapa kehidupan permaisuri dan selir di harem Kekaisaran Tiongkok tetap begitu menarik bagi masyarakat modern?
Ada beberapa kisah tragis yang terjadi di balik tembok harem Kekaisaran Tiongkok. Dari Permaisuri Yang di Dinasti Tang (618–906) hingga Permaisuri Zhen di Dinasti Qing (1644–1912).
Di Harem Dinasti Tang, harem dipaksa bunuh diri
Dianggap sebagai salah satu dari Empat Kecantikan Kuno Tiongkok, Permaisuri Yang atau Yang Guifei adalah favorit Kaisar Tang Xuanzong. Kisah cinta kaisar dengan Yang Guifei sering digambarkan sebagai awal dari akhir dinasti itu.
Kaisar kerap mengabaikan tugas resminya untuk menghabiskan waktu bersama selir kesayangannya. Berkat kaisar, pengaruh Yang Guifei makin meluas sehingga menyebabkan masalah politik yang parah.
Sebagai permaisuri yang paling disukai kaisar, Yang Guifei menjalani kehidupan mewah. Ia menikmati makanan enak dan kesenangan santai bersamanya di Istana Huaqing.
Kaisar bahkan akan memesan leci segar, terutama dari tempat yang jauh di Tiongkok selatan hanya untuk kesenangannya. Seringkali, pengiriman buah itu melibatkan penggunaan sistem kurir diplomatik yang seharusnya memastikan bahwa dokumen resmi negara tiba tepat waktu.
Dengan kemampuan Yang Guifei untuk menarik perhatian kaisar, pengaruhnya berkembang pesat. Melalui koneksi, anggota keluarganya juga diberi peran penting di istana. Secara khusus, sepupunya Yang Guozhong menjadi sangat kuat. Ia akhirnya menggantikan perdana menteri dan membangun pengaruh di Kekaisaran Tiongkok.
Pada 747, An Lushan, seorang jenderal muda licik dari Turki menjadi terkenal melalui perlindungan Yang Guifei. “Ia dipercaya memiliki hubungan asmara dengan selir kesayangan kaisar itu,” tulis Ching Yee Lin di laman The Collector.
Dengan dukungan Yang Guifei, An menemukan 200.000 tentara siap membantunya. Keduanya memegang kekuatan politik yang signifikan, An dan Yang Guozhong segera terlibat dalam konflik. An memimpin pemberontakan yang akan menghancurkan Dinasti Tang di Kekaisaran Tiongkok.
Selama 8 tahun berikutnya, Dinasti Tang bertekuk lutut. Kelaparan nasional dan pembantaian massal terjadi di tengah kesulitan sosial-politik yang meluas.
Saat pasukan An mendekati istana di Chang'an, Kaisar Tang Xuanzong terpaksa melarikan diri ke selatan menuju Chengdu. Saat itu, ia kabur dengan rombongannya dan keluarga Yang. Di tengah perjalanan, penjaga kekaisaran yang tidak puas membunuh Yang Guozhong dan dua saudari Yang lainnya. Mereka melihat keluarga itu sebagai akar dari semua kekacauan yang terjadi.
Para penjaga menolak untuk melanjutkan perjalanan kecuali Yang Guifei juga dihukum mati. “Tentu saja itu menjadi keputusan menyakitkan yang akhirnya harus diambil oleh kaisar,” tambah Lin.
Pernah menjadi wanita paling berkuasa di harem Dinasti Tang Kekaisaran Tiongkok, kehidupan Yang Guifei berakhir secara tragis. Dia kemudian dimakamkan di pinggir jalan dengan sutra ungu tanpa peti mati. Ironisnya, jauh dari upacara pemakaman tradisional yang mewah yang diasosiasikan dengan keluarga Kekaisaran Tiongkok.
Kaisar yang patah hati melanjutkan perjalanannya, kembali setahun kemudian untuk menguburkan Yang Guifei dengan upacara besar. Dikatakan bahwa kaisar tidak pernah melupakan kehilangan tragis dari selir yang dicintainya. Sang kaisar sering menatap dengan sedih lukisan dirinya yang telah dia pesan setelah kembali ke istana.
Harem Dinasti Ming, di mana seorang selir terus menangis hingga akhir hayatnya
Dikenal di masa hidupnya sebagai Selir Gong menjalani kehidupan yang menyedihkan yang jauh dari status kerajaannya. Namanya tidak didokumentasikan secara resmi dan hanya diketahui bahwa dia berasal dari Klan Wang.
Pada tahun 1578, Wang memasuki harem kekaisaran, bekerja sebagai wanita istana untuk Ibu Suri Xiaoding, ibu dari Kaisar Ming Wanli. Dikatakan bahwa saat mengunjungi ibunya, kaisar muda itu menyukai Wang dan mulai menjalin hubungan dengannya.
Terlepas dari hubungan romantis mereka, kaisar sangat malu dengan keberadaan Wang karena status wanita istananya yang rendah. Ketika dia mengandung anaknya, kaisar mengabaikannya dan menolak untuk mengakui hubungan mereka. Hal ini mendorong Ibu Suri Xiaoding untuk menghadapi putranya, menasihatinya untuk menikah dengan Wang.
Pada bulan lunar keempat tahun 1582, Wang secara resmi diangkat menjadi Selir Gong dan melahirkan Zhu Changluo, calon Kaisar Taichang.
Meskipun melahirkan pewaris laki-laki pertama dari keluarga kekaisaran, Selir Gong tidak diperlakukan lebih baik oleh kaisar. Ia tidak dipromosikan setelah melahirkan putra mahkota. Bahkan tidak juga mendapatkan hadiah serta perhatian.
Sebaliknya, kaisar terus menyayangi Permaisuri Mulia Zheng dengan tulis. Putranya Zhu Changxun disukai oleh kaisar yang ingin menjadikannya pewaris. Hal itu merupakan penyimpangan dari tradisi yang menyebabkan konflik istana yang tak berkesudahan.
Di tahun-tahun berikutnya, Selir Gong dikurung di Istana Kecemerlangan Agung. Dikatakan bahwa dia sering menghabiskan hari-harinya dengan menangis. Kehidupannya yang menyedihkan membuat istananya mendapatkan julukan Istana Dingin. Julukan itu menggambarkan istana selir yang sunyi yang tidak disukai.
Pada 1601, putranya Zhu Changluo akhirnya diangkat menjadi Putra Mahkota setelah Kaisar Wanli menyerah pada tentangan keras dari istananya. Meski begitu, Selir Gong – ibu dari calon kaisar – tidak menerima promosi atau pengakuan apa pun. Baru pada tahun 1605 ketika putra Zhu Changluo lahir, Kaisar Wanli mengangkatnya menjadi Permaisuri Bangsawan Kekaisaran Cisheng.
Pada tahun 1611, Permaisuri Mulia Cisheng jatuh sakit. Ketika putranya Zhu Changluo mengunjunginya di hari-hari terakhirnya. Kata-kata terakhirnya mencerminkan pengorbanan sunyi seorang ibu, “Kamu sudah dewasa sekarang. Aku akan meninggal tanpa penyesalan.”
9 tahun kemudian pada tahun 1620, Zhu Changluo akhirnya naik takhta – pemandangan yang sayangnya tidak pernah dilihat oleh ibunya. Ironisnya, dia meninggal sebulan kemudian dan putranya Kaisar Tianqi mengambil alih takhta.
Kaisar Tianqi memberikan gelar anumerta kepada neneknya Ibu Suri Xiaojing. Ia memakamkannya kembali di Mausoleum Dingling di sebelah Kaisar Wanli.
Setelah kemalangan dan pengorbanan seumur hidup, orang akan berharap Ibu Suri Xiaojing akhirnya bisa dimakamkan dengan damai dalam kematiannya. Tragisnya, selama Revolusi Kebudayaan sekitar 300 tahun kemudian pada tahun 1966, makam Ibu Suri Xiaojing digerebek dan dinodai oleh Pengawal Merah. Bersama dengan Kaisar Wanli dan Permaisuri Xiaoduanxian, jenazah dan harta bendanya dikutuk dan dibakar untuk dilihat semua orang.
Di Harem Dinasti Qing, ada selir yang tewas karena tenggelam di sumur
Lahir dari Klan Tatara, Lady Tatara – calon Selir Zhen – tumbuh di Guangzhou. Ia kemudian pindah ke Beijing saat berusia 10 tahun. Di usia ke-13, Lady Tatara terpilih untuk memasuki harem kekaisaran Kaisar Guangxu sebagai Selir Zhen dengan kakak perempuannya, Selir Jin. Pada tahun 1894, keduanya diangkat menjadi permaisuri.
Tumbuh di kota pelabuhan seperti Guangzhou memberikan apresiasi terhadap budaya dan praktik baru. Namun sayangnya, hal itu menjadi berkah sekaligus kutukan di Kota Terlarang.
Dengan semangat riang dan kepribadiannya yang ceria, Permaisuri Zhen dengan cepat mendapatkan dukungan dari Kaisar Guangxu di istana. Pasangan itu sering menghabiskan waktu bersama menikmati fotografi. Bagi Kekaisaran Tiongkok, fotografi adalah aktivitas Barat yang dianggap tidak ortodoks.
Konon pada tahun 1894, Permaisuri Zhen berhasil mendapatkan satu set peralatan fotografi secara diam-diam dari luar istana. Penggemar fotografi bahkan akan berdandan dan berpose untuk foto dengan pakaian berbeda, mengabaikan etiket kerajaan.
Selain fotografi, Permaisuri Zhen juga melibatkan Kaisar Guangxu dalam diskusi politik. Ia sering kali mendorongnya untuk melakukan reformasi politik untuk menyelamatkan kekaisaran yang mengalami penurunan. Perilaku ini, bersama dengan kemampuannya untuk menarik perhatian kaisar, membuat Ibu Suri Cixi murka. Cixi adalah penguasa de facto saat itu.
Pada tahun 1894, Permaisuri Zhen dan Permaisuri Jin diturunkan jabatannya oleh Cixi. Itu dilakukan setelah Permaisuri Zhen diketahui turut campur dalam prosedur pengangkatan sipil, yang mengakibatkan serangkaian skandal publik.
Saat Dinasti Qing melawan serbuan asing dan meluasnya kerusuhan sosial-politik, Kaisar Guangxu meluncurkan Reformasi Seratus Hari pada tahun 1898. Ini terdiri dari reformasi politik, sosial, dan pendidikan seperti memodernisasi militer Tiongkok dan menghapus sistem ujian kekaisaran. Di antaranya adalah rencana untuk menggulingkan Cixi dari kekuasaan. Cixi yang murka pun melancarkan kudeta dan menempatkan Kaisar Guangxu sebagai tahanan rumah terpisah dari istri-istrinya.
Pada Agustus 1900, setelah Pemberontakan Boxer, Aliansi Delapan Negara menyerbu Beijing. Ini memaksa Cixi dan Kaisar Guangxu melarikan diri ke selatan menuju kota Xi'an. Dikatakan bahwa ini juga merupakan periode ketika Permaisuri Zhen tenggelam di sebuah sumur di Kota Terlarang.
Ada banyak klaim yang belum diverifikasi bahwa Cixi-lah yang memerintahkannya untuk dilemparkan ke dalam sumur. Tubuhnya baru diambil setahun kemudian setelah rombongan kekaisaran kembali.
Sumur tempat dia meninggal dapat ditemukan di dekat Istana Umur Panjang yang Tenang di Kota Terlarang hari ini. Kini, warisan Permaisuri Zhen terus hidup karena keadaan misterius seputar kematiannya yang tragis memicu desas-desus yang tidak pernah ada akhirnya.
Meski bergelimang harta, kenyamanan, dan kemewahan, kehidupan harem Kekaisaran Tiongkok tidak selalu bahagia.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR