Nationalgeographic.co.id—Setelah rentetan kegagalan sejarah Perang Salib ketiga dan kedua, Gereja Katolik Roma ingin kembali menyerukan Perang Salib keempat.
Paus Innosensius III yang saat itu memimpin Gereja Katolik Roma, mengeluarkan seruan dan memulai sejarah Perang Salib Keempat.
Namun sejarah Perang Salib keempat terbentuk dari kombinasi yang aneh. Negara-negara Kristen Eropa dihantui kekacauan, kendala keuangan, dan ambisi perdagangan Venesia.
Dan dari itu semua, kebencian kepada Kekaisaran Bizantium terus menguat. Target akhirnya adalah Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium dan pusat Kristen Ortodoks terbesar di dunia.
Konstantinopel secara teknis ditaklukkan oleh Pasukan Salib pada 12 April 1204 M. Inilah yang nantinya terkenal dengan "Penjarahan Konstantinopel" dan menjadi awal kehancuran kota menurut World History Encyclopedia.
Pusat Kristen Ortodoks terbesar di dunia itu dijarah habis-habisan. Peninggalan, karya seni dan peninggalan dunia kristen dibawa ke barat.
Tidak hanya itu, Kekaisaran Bizantium kemudian dibagi dua. Sebagian dimiliki oleh Venesia, sebagian lagi dimiliki oleh sekutunya.
Sejarah Perang Salib keempat, dengan demikian mendapatkan reputasinya yang terkenal sebagai perang salib yang paling biadap dan serakah.
Sinisme Timur dan Barat
Kekaisaran Bizantium selama ini menganggap diri mereka sebagai pembela negara-negara Kristen Eropa. Kekaisaran ini menganggap dirinya mercusuar yang bersinar melintasi Mediterania dan Asia Tengah, bahkan tuan rumah kota tersuci di luar Yerusalem.
Kekaisaran Bizantium juga melihat diri mereka sebagai batu karang yang berdiri melawan gelombang Islam yang menyapu dari timur.
Sementara itu, di dunia barat, negara-negara Kristen Katolik menganggap Bizantium dekaden, licik, dan tidak dapat dipercaya. Tidak hanya itu, praktik keagamaan Kekaisaran Bizantium bahkan dicurigai.
Pembagian penting antara timur dan barat ini telah menyebabkan masalah terus-menerus di semua perang salib sebelumnya, dan muncul lagi di perang salib ini.
Ada juga sumber perpecahan yang lebih konkret, persaingan historis antara paus dan kaisar.
Sejak lama terjadi ketegangan antara Katolik Roma dan Kekaisaran Bizantium, terutama perbedaan teologi seperti peran paus.
Di sisi lain, meningkatnya ambisi negara-negara barat untuk merebut sisa harta Kekaisaran Romawi dari Kekaisaran Bizantium.
Hal itu dipicu oleh kegagalan perang salib dalam mengamankan Tanah Suci Yerusalem secara permanen untuk negara-negara Kristen.
Meski mungkin kesalahan terdapat di kedua belah pihak, baik timur dan barat, Bizantium dianggap tidak memiliki keinginan untuk melawan musuh bersama, yaitu Peradaban Islam.
Sementara itu Kekaisaran Bizantium melihat Pasukan Salib sebagai gerombolan oportunis yang telah lama mengacau di wilayah Kekaisaran Bizantium.
Dalam setiap penyerbuan Perang Salib, selalu terjadi perampokan dan pemerkosaan di wilayah Kekaisaran Bizantium yang dilewati pasukan salib. Dalam arti tertentu, kedua belah pihak benar dalam penilaian mereka.
Ambisi Venesia
Perang Salib ketiga, meskipun mencapai beberapa keberhasilan militer yang penting, telah gagal total dalam tujuan aslinya untuk merebut kembali Yerusalem. Perang ini gagal menurunkan Sultan Muslim Mesir dan Suriah, Salahudin al ayyubi yang dikenal dengan Saladin.
Sultan yang terkenal dari Peradaban Islam itu akhirnya tiada, namun Kota Suci tetap berada di tangan Muslim. Perang salib lain akhirnya diperlukan.
Sejarah Perang Salib Keempat mulai diserukan oleh Paus Innosensius III pada bulan Agustus 1198 M.
Seperti sebelumnya, mereka yang pergi ke Tanah Suci Yerusalem dan melawan Peradaban Islam akan menerima pengampunan atas dosa-dosa mereka.
Kemudian sebagai insentif tambahan, Innosensius III sekarang memperluas 'keuntungan' ini kepada mereka yang memberikan uang.
Pengumpulan dana itu diperlukan untuk mendanai seorang prajurit untuk pergi sebagai pengganti mereka.
Pemilihan waktu Paus bukanlah yang terbaik, terutama mengingat Kota Suci bagaimanapun juga telah berada di tangan Muslim sejak 1187 M.
Pada tahun-tahun terakhir abad ke-12 M, keempat raja dari kerajaan paling kuat di Eropa, Inggris, Prancis, Jerman, dan Spanyol, sibuk dengan urusan dalam negeri.
Kemudian dalam kasus Inggris dan Prancis, terlibat ketegangan karena konflik teritorial yang serius satu sama lain.
Lebih buruk lagi, pada bulan April 1199 M, Raja Tentara Salib besar Richard I dari Inggris (memerintah 1189-1199 M) meninggal dalam penyerbuan di Prancis.
Padahal sebelumnya ia telah berjanji untuk kembali ke Tanah Suci Yerusalem. Ia berjanji akan menyelesaikan pekerjaannya yang belum selesai selama Perang Salib Ketiga.
Berbeda dengan Perang Salib sebelumnya, ini bukan menjadi "Perang Salib Raja". Tetap saja, banyak bangsawan lapis kedua terinspirasi untuk bergabung atau 'memikul salib', terutama dari Prancis utara.
Ada comte Champagne dan Blois (walaupun yang pertama meninggal sebelum ekspedisi dimulai).
Selanjutnya ada Geoffrey dari Villehardouin (yang kemudian menulis Penaklukan Konstantinopel, catatan penting Sejarah Perang Salib).
Selanjutnya ada Comte Baldwin dari Flanders, dan Simon de Montfort. Pada Agustus 1201 M pemimpin ekspedisi, Theobald of Champagne meninggal sebelum waktunya, dan harus dipilih pemimpin baru.
Pilihannya adalah orang Italia yang sangat kaya dan sopan dengan silsilah Pasukan Salib yang mengesankan di keluarganya, Marquis Boniface dari Montferrat.
Mungkin secara signifikan, mengingat kejadian di masa depan, Bonifasius juga memiliki hubungan keluarga dengan Kekaisaran Bizantium.
Salah satu saudara laki-lakinya menikahi putri kaisar Bizantium Manuel I (memerintah 1143-1180 M).
Dan saudara laki-laki lainnya menikah dengan saudara perempuan kaisar Bizantium yang digulingkan, Isaac II Angelos (memerintah 1185-1195 M).
Pada bulan Oktober 1202 M pasukan salib akhirnya siap untuk berlayar dari Venesia ke Mesir. Mesir dianggap sebagai target yang mudah untuk menyerang Peradaban Islam dari belakang, atau setidaknya, itulah rencana awalnya.
Orang Venesia, sebagai pedagang yang rakus, bersikeras agar 240 kapal mereka dibayar, tetapi pasukan salib tidak dapat memenuhi harga yang diminta.
Akibatnya, kesepakatan dibuat bahwa sebagai imbalan perjalanan, Pasukan Salib akan berhenti di Zara di pantai Dalmatian. Mereka merebutnya kembali untuk orang Italia, kota yang baru saja membelot ke Hongaria.
Venesia juga akan menyediakan 50 kapal perang untuk Perang Salib dengan biaya sendiri dan menerima setengah dari wilayah yang ditaklukkan.
Keserakahan Venesia inilah yang akan menjadi mimpi buruk bagi pusat Kristen Ortodoks terbesar di dunia.
Venesia dan sekutunya memandang Konstantinopel sebagai sumber kekayaan.
Pesukan Salib juga pasti akan mendapatkan banyak harta dan barang rampasan dari kekayaan gereja-gereja Bizantium, kemudian dapat membiayai Perang Salib.
Selain itu, para ksatria Pasukan Salib juga dapat membalas dendam pada Bizantium yang dianggap bermuka dua. Paus akan mencapai supremasi Gereja barat untuk selamanya jika kekristenan Ortodoks runtuh.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR