Nationalgeographic.co.id—Hasil penelitian dari ahli biologi University of Oxford mengklaim telah mengetahui apa yang melindungi gajah dari kanker. Menurut peneliti, rahasia kekuatan gajah ada pada testisnya yang besar dan panas.
Untuk diketahui, dalam dunia hewan, gajah adalah hewan yang jarang terkena kanker dan ini telah menarik perhatian ilmuwan biologi. Dan dengan hasil penelitian baru ini memberikan petunjuk bahwa testis gajah berperan penting bagi kehidupan gajah.
Peneliti telah menerbitkan hasil penelitian sebagai catatan dalam jurnal Trends in Ecology and Evolution. Jurnal tersebut dipublikasikan dengan judul "Uncoupling elephant TP53 and cancer" belum lama ini.
Ilmuwan mengklaim gen pencegah sel kanker gajah mungkin telah berevolusi. Evolusi itu telah melindungi sperma mereka dari habitat panas yang mereka tinggali.
Idenya bermuara pada protein yang disebut p53, yang membantu mencegah kerusakan DNA dalam sel. Termasuk kerusakan yang dapat mengubah sel normal menjadi sel kanker.
Gajah, tidak seperti manusia, memiliki banyak salinan gen yang mengkodekan p53. Itu artinya, tersedia banyak gen yang menyediakan “resep” bagi tubuh untuk membuat protein.
Hipotesis yang disajikan di sini mengeksplorasi kemungkinan bahwa perbanyakan gen TP53 pada gajah bukan karena seleksi melawan kanker di soma. Soma adalah bagian organisme selain sel reproduksi.
Perbanyakan gen p53, menurut peneliti, merupakan hasil seleksi untuk perlindungan lapisan sel primer (germinal). Bagaimanapun, p53 adalah peserta kunci aktif dalam pembelahan sel baik di soma maupun germinal.
"Dalam skenario ini, manfaat apa pun dari perlindungan dari sel kanker akan menjadi kebetulan yang disambut baik, mungkin mengarah pada perkembangan evolusionernya sendiri," peneliti menulis.
"Pandangan ini didasarkan pada premis bahwa, karena pergantian, tekanan seleksi lebih kuat pada mutasi germinal daripada mutasi somatik (sel yang membentuk organisme."
Fritz Vollrath, seorang ahli biologi evolusi di University of Oxford, mengatakan hal ini dapat membantu melindungi sperma mereka dari suhu panas.
Hipotesis ini dimulai dengan "paradoks Peto," kata Vollrath kepada Live Science.
Source | : | Live Science,Trends in Ecology and Evolution |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR