Nationalgeographic.co.id—Saat ini, salon merupakan tempat yang dikunjungi oleh orang-orang untuk memotong rambut mereka dengan gaya tertentu. Berbeda dengan apa yang terjadi pada abad ke-18 di Prancis, salon adalah sebuah pertemuan terorganisir.
Pertemuan tersebut diselenggarakan di rumah-rumah pribadi yang biasanya dipenuhi oleh wanita-wanita terkemuka.
Jennifer Llewellyn, seorang mantan guru sejarah dari Gosford di Australia, bersama rekannya Steve Thompson, menjelaskan bahwa wanita-wanita di salon “sering mendiskusikan literatur atau berbagi pandangan dan pendapat tentang berbagai topik, mulai dari ilmu pengetahuan hingga politik.”
Salon-salon ini kemudian menjadi salah satu tempat penting yang melahirkan ide-ide politik dan gagasan revolusioner.
Siapa Saja yang Datang ke Salon?
Mereka yang menghadiri salon biasanya berasal dari kalangan borjuis atau bangsawan.
Sebagian besar dari mereka merupakan orang yang berpendidikan, rajin membaca, memahami informasi politik atau isu-isu terkini.
Pada seperempat terakhir abad ke-18, salon-salon tersebut telah menjadi universitas de facto atau kelompok belajar, yang mengkhususkan diri pada ide-ide Pencerahan dan filsafat.
Salon dan beberapa paguyuban lain yang diisi oleh pria–seperti cercles dan kafe–merupakan sebuah pertemuan sosial alih-alih kelompok revolusioner yang padu. Namun demikian, dalam sejarahnya mereka adalah penyebar ide-ide revolusioner.
“Salon-salon tersebut menawarkan tempat untuk berbagi dan mendiskusikan ide-ide liberal dan kritik terhadap Rezim Lama,” jelas Jennifer. “Mereka berfungsi sebagai pendahulu klub-klub politik yang muncul pada awal 1790-an.”
Asal-usul Salon
Sejarah mencatat, salon paling awal berasal dari awal tahun 1600-an. Ia lahir dari lingkaran sastra yang diselenggarakan oleh Marquess de Rambouillet, seorang bangsawan Prancis kelahiran Italia.
Salon Rambouillet menjadi tempat pertemuan kaum intelektual Paris dan kalangan sastrawan.
Salon awal ini lebih informal daripada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Diskusi tidak terlalu terencana dan terstruktur, serta lebih banyak candaan, olok-olok ringan, atau sekadar bersosialisasi.
Pada abad ke-18, salon-salon telah mengembangkan struktur yang lebih formal. Mereka mulai memfokuskan pada literatur, pembelajaran, dan debat. Seperti yang bisa diduga, diskusi di salon-salon pra-revolusi berkisar pada politik, filsafat, dan ide-ide Pencerahan.
Para pemilik salon
Menurut Jennifer, Pertemuan di salon tidak mengikuti struktur atau prosedur yang konsisten. Acara ini dijalankan oleh salonnière (pemilik salon) sesuai keinginannya. Salah satu aspek yang paling penting dari sebuah salon adalah memutuskan siapa yang akan diundang.
“Sebagian besar salonnière mencoba menyusun daftar tamu yang memungkinkan adanya campuran pendapat, menghasilkan diskusi yang menantang dan terbukti menarik bagi semua yang terlibat,” jelas Jennifer.
Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Steven D. Kale, undangan ke salon dipilih oleh tuan rumah untuk kesesuaian dan kontras yang mungkin menghasilkan percakapan yang paling menarik dan harmonis.
“Oleh karena itu, para salonnières melakukan tindakan penyeimbangan yang sulit, mengembangkan kemampuan individu tanpa membiarkan satu tamu membayangi tamu lainnya.”
Salon biasanya bertempat di ruang resepsi, seperti ruang tunggu, perpustakaan atau ruang tamu. Pertemuan yang lebih kecil kadang-kadang diadakan di kamar tidur tuan rumah.
Sebagian besar dimulai dengan membaca suatu bacaan, biasanya dari novel, esai, atau teks filosofis yang baru muncul atau baru ditemukan. Diskusi berlanjut dari sana, sering kali dipimpin atau didorong oleh salonnière.
Salon dan Revolusi
“Kontribusi yang diberikan salon pada pemikiran politik, ide-ide revolusioner, dan hubungan gender masih diperdebatkan oleh para sejarawan,” jelas Jennifer.
Keterlibatan perempuan menjadi inti dari ketidakpastian tentang salon dan dampak politiknya. Banyak pemikir abad ke-18 berpikir bahwa sains, politik dan filsafat adalah kegiatan yang maskulin. Mereka percaya bahwa Pencerahan akan menguntungkan perempuan, tetapi perempuan sendiri tidak boleh terlibat di dalamnya.
Jean-Jacques Rousseau adalah salah satu filsuf Pencerahan yang menentang salonnières dan keterlibatan perempuan dalam perdebatan politik. Rousseau percaya bahwa perempuan, sebagai kaum intelektual yang lebih rendah, akan menyeret atau mencemari diskusi ilmiah dan filosofis.
Denis Diderot, yang banyak menulis tentang keutamaan wanita, memiliki pandangan yang berlawanan. Menurut sejarawan Barbara Caine, Diderot "bersikeras bahwa kehadiran perempuan membuatnya perlu untuk mendiskusikan topik-topik yang paling kering dengan kejelasan dan pesona."
Cercle dan kafe
Salon-salon tersebut juga memiliki padanan untuk pria. Salah satunya adalah cercles sociaux ('lingkaran sosial') atau cercles.
Tidak seperti salon, yang didominasi oleh bangsawan dan orang kaya, keanggotaan cercles sebagian besar adalah kaum borjuis.
Ada banyak variasi di antara cercle. Beberapa di antaranya tak lebih dari sekadar klub pria, di mana diskusi politik atau filosofis diselingi dengan minum-minum dan berjudi. Yang lainnya lebih terang-terangan bersifat politis dan tidak berbeda dengan klub-klub politik pada tahun 1790-an.
Cercle terbesar didirikan di Paris pada tahun 1790 dan memiliki ribuan anggota. Secara resmi disebut 'Perkumpulan Sahabat Kebenaran', mereka menerbitkan surat kabarnya sendiri yang disebut “Bouche de Fer” ('Mulut Besi').
Beberapa orang Prancis lebih menyukai diskusi yang hidup di kafe-kafe. Beberapa kedai kopi, seperti Cafe Procope, merupakan tempat trendi yang sering dikunjungi oleh filsuf terkemuka seperti Voltaire.
Kafe-kafe lainnya adalah tempat dengan harga murah yang menjadi tempat persembunyian para jurnalis kotor dan para pekerja kasar.
Source | : | Alpha History |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR