Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim telah memberi nenek moyang manusia otak yang lebih besar, menurut hasil penelitian tim ilmuwan Washington University. Mereka menganalisis dampak perubahan iklim pada manusia purba sekitar satu juta tahun yang lalu.
Para peneliti menemukan bahwa, selama fase glasial yang parah, perkawinan assortatif positif meningkat pada nenek moyang homo-sapiens, hominin.
Hal itu karena komoditas seperti api, makanan, dan tempat berlindung dianggap semakin penting. Kemudian manusia purba menjadi lebih cerdas untuk memilih pasangan kawin.
Perkawinan assortatif positif adalah kecenderungan hewan untuk memilih pasangan yang lebih cocok dengan diri mereka sendiri.
Para peneliti menggunakan asumsi dasar dan simulasi berdasarkan apa yang sudah diketahui tentang manusia purba. Tim peneliti menyimpulkan bahwa perubahan iklim menyebabkan pertumbuhan ukuran otak secara berturut-turut dan berdampak pada kecerdasan.
Para peneliti berusaha mengeksplorasi bagaimana perubahan iklim mungkin menyebabkan peningkatan ukuran otak manusia purba.
Rincian penelitian tersebut telah dijelaskan dalam PLoS One dengan judul "An economic model and evidence of the evolution of human intelligence in the Middle Pleistocene: Climate change and assortative mating."
Penelitian tersebut berfokus pada evolusi hominin antara 700.000 tahun dan 300.000 tahun yang lalu, periode peningkatan tajam ukuran otak absolut dan relatif.
Periode tersebut juga mengalami perkembangan perilaku yang signifikan di berbagai bidang seperti kapasitas bahasa.
Penulis utama studi Profesor Bruce Petersen mengatakan, bahwa sudah lama diperdebatkan bahwa perubahan iklim adalah pendorong penting evolusi hominin, dengan perhatian yang cukup besar diberikan pada fase glasial.
“Misalnya, William H Calvin menekankan bahwa zaman es kemungkinan besar mempercepat peningkatan ukuran dan kecerdasan otak," katanya.
“Pilihan seksual adalah komponen kunci dari model. Dalam The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex, Charles Darwin sangat menekankan seleksi seksual untuk evolusi hominin."
“Namun, perannya sebagai kekuatan evolusi kemudian diabaikan selama lebih dari satu abad.
“Makalah ini mempertimbangkan bagaimana perubahan iklim, bersama dengan perkawinan asortatif dan kerja sama orang tua, dapat mempercepat evolusi kognisi kompleks pada manusia Pleistosen Tengah.”
Para peneliti menjelaskan bahwa ada satu set 'komoditas keluarga yang diproduksi di rumah' yang diminta untuk diproduksi. Itu mencakup api, tempat berlindung, percakapan, dan pengasuhan anak.
Semakin parah hominin fase glasial hidup, semakin kritis komoditas ini dalam mencegah kematian terkait dingin yang disebabkan oleh hipotermia.
Tim peneliti mempertimbangkan tiga jenis hominin. yang pertama adalah yang paling cerdas tetapi paling lemah, yang kedua 'menengah', dan yang ketiga adalah yang terkuat tetapi paling tidak cerdas.
Selama periode antar-glasial, ketika nilai komoditas publik relatif rendah, tim peneliti berpendapat bahwa hominin jenis pertama akan menjadi pasangan yang paling tidak diinginkan.
Namun, dengan iklim yang cukup memburuk, komoditas publik menjadi semakin berharga. Cara paling baik yang dapat dilakukan adalah, memilih berpasangan dengan hominin tipe pertama yang cerdas.
Simulasi menyimpulkan bahwa, perkawinan asortatif positif pasangan tipe-satu akan menghasilkan keturunan dengan kebugaran tertinggi.
Tidak hanya itu, perkawinan asortatif juga mungkin satu-satunya cara manusia purba untuk menghasilkan anak lebih banyak dan dapat bertahan hidup pada periode glasial yang parah.
Petersen menjelaskan bahwa pasangan hominin yang lebih cerdas ini diperlukan untuk kelangsungan hidup selama periode glasial yang keras. Itu mungkin telah berkontribusi pada percepatan bahasa dan penggunaan api.
Dia berkata, bahwa simulasi menunjukkan bahwa periode perubahan iklim yang parah akan menyebabkan perkawinan assortatif yang positif.
“Ini berarti pasangan kurang terspesialisasi, sebagian karena saling melengkapi muncul hanya ketika pasangan bekerja sama," katanya.
“Sistem perkawinan yang efisien pasti menjadi semakin penting dengan perpanjangan ketergantungan keturunan dan dimulainya fase glasial yang parah."
Kedua, banyak ilmuwan berpendapat bahwa keuntungan besar dari bahasa dan penggunaan api akan memberikan tekanan selektif yang kuat.
“Makalah ini memberikan model bagaimana proses seleksi, yang beroperasi melalui perkawinan assortatif, mungkin telah mempercepat perolehan bahasa dan penggunaan api.”
“Akhirnya, makalah ini menunjukkan bahwa keadaan keluarga, khususnya fokus pada perkawinan assortatif, dapat berguna untuk penelitian masa depan tentang evolusi dimorfisme seksual pada Homo.”
Petersen menambahkan, prediksi model makalah ini adalah penurunan dimorfisme ukuran tubuh pada Homo mungkin berlanjut hingga periode waktu Homo heidelbergensis.
Homo heidelbergensis adalah spesies manusia yang punah yang diketahui dari fosil yang berasal dari 600.000 hingga 200.000 tahun yang lalu di Afrika, Eropa, dan mungkin Asia.
“Untuk menyimpulkan, perubahan iklim adalah penjelasan utama untuk evolusi kecerdasan hominin, namun tidak ada model formal tentang cara kerjanya," katanya.
“Selain itu, seleksi seksual, yang sangat ditekankan oleh Charles Darwin, hanya mendapat sedikit perhatian dalam literatur tentang evolusi kecerdasan manusia."
Menurutnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seleksi seksual dan kerja sama orang tua membantu mendorong kecerdasan hominin di Pleistosen Tengah.
“Penelitian ini menerapkan prinsip ekonomi inti, yang jarang digunakan untuk menjelaskan evolusi manusia sebelum Homo sapiens," katanya.
Source | : | PLoS One,Washington University |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR