Adapun jenis kerajian tangan dari punting rokok yang telah Bhre buat adalah kopiah, vas bunga, gantungan kunci, frame pajangan berisi hiasan gambar hingga kaligrafi.
Atas aksinya ini, Bhre kemudian dianugerahi gelar Juara 2/Runner Up 1 Pangeran Lingkungan Hidup 2022. Selain itu, dia juga menjadi finalis di Ashoka Young Changemaker 2023. Dia menjadi yang termuda di antara 14 finalis anak usia muda antara 11 sampai 19 tahun yang berasal dari 9 provinsi di Indonesia itu.
Selain Verlita dan Bhre, masih banyak anak lain di Surabaya yang juga telah melakukan aksi nyata untuk lingkungannya. Yang cukup sering dan banyak dilakukan oleh anak-anak binaan Tunas Hijau adalah pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos.
Mochamad Zamroni, salah satu pendiri yang kini menjadi Presiden Tunas Hijau, mengatakan gerakan organisasinya ini sudah dimulai sejak tahun 1999. Tunas Hijau di Surabaya ini berawal dari pengiriman lima orang pemuda dari Jawa Timur untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Australia pada Maret 1999. Sepulangnya dari Australia, para pemuda ini membentuk organisasi dan mulai melakukan upaya sederhana, nyata, dan berkelanjutan guna membantu agar lingkungan menjadi lebih baik.
“Intinya ngajak orang lain yang di sekitar kita itu buang sampah pada tempatnya. Jadikan saku kita sebagai tempat sampah sementara,” tutur Zamroni mengisahkan ulang aksinya sejak awal.
“Waktu itu tahun 1999 sudah memikirkan bagaimana supaya air mineral dalam kemasan sekali pakai itu dibatasi penggunaannya oleh setiap individu,” kenang Zamroni lagi. “Terus bagaimana ajakan untuk berbuat baik kepada lingkungan itu terus digelorakan ke setiap individu.”
Komunitas yang dibentuk oleh Tunas Hijau perlahan semakin berkembang seiring dengan adanya individu-individu baru dan generasi baru yang bergabung. Lalu muncullah ide untuk membuat proyek-proyek lingkungan lewat program Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup serta Keluarga Sadar Iklim.
“Kami mengajak masyarakat sebenarnya, tapi melalui anak-anak, buat project lingkungan,” ujar Zamroni.
Sejak 2002, lewat Pangeran dan Putri Lingkugan Hidup, Zamroni dan timnya mulai menggalakkan aksi pembuatan kompos dari sampah organik oleh anak-anak.
“Tiap tahun itu capaiannya dahsyat. Kalau yang dulu mengelola sampah organik jadi kompos itu sudah luar biasa. Tapi kemudian di masa pandemi itu satu anak bisa satu hari mengelola 100 kilogram sampah organik. Sebulan tiga ton. Karena pengelolaan itu setiap hari itu terus dilakukan. Enam bulan berarti 18 ton. Dalam setahun berarti 36 ton.”
“Akhirnya generasi berikutnya nggak mau kalah,” ujar Zamroni lagi bersemangat. “’Oh yang kemarin 100 kilogram?’ Nggak mau kalah, akhirnya yang lain sehari 150 kilogram.”
Zamroni mengatakan program Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup masih terus digelar secara rutin hingga saat ini karena dampaknya cukup besar. Melalui program ini, menurut Zamroni, sebenarnya yang bergerak itu bukan hanya si anak.
“Anak itu bergerak, keluarga bergerak. Yang kemudian kita buatkan skema, bagaimana si anak itu mengajak orang di sekitarnya melakukan hal yang sama.”
Sebagai contoh gerakan membuat biopori. Awalnya si anak yang membuat biopori di halaman rumahnya. Lalu kemudian dibantu keluargnya. “Keluarga yang bergerak bersama dengan si anak itu kemudian mengajak satu kampungnya bikin biopori di setiap rumah,” kata Zamroni.
“Terus kemudian mengelola sampah organik di rumah, mengajak tetangganya juga, dan terus bergulir.”
Menurut Zamroni, cara ini cukup efektuf untuk menggerakkan elemen masyarakat yang sebelumnya tidak mau bergerak. “Anak yang menyampaikan dengan gaya bahasa sederhana itu mampu menggerakan elemen-elemen kelompok umur atau stakeholder yang sebelumnya tidak pernah begerak itu.”
“Jadi cukup efektif,” tegas Zamroni, “tapi harus terus digelorakan di banyak tempat, tidak hanya setahun sekali.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR