Kesuksesan buku ini, terus membawa Saikaku mengabdikan sisa hidupnya untuk menulis karya dengan gaya serupa.
Ilustrasi merupakan elemen penting dalam ukiyo-zoshi, tidak hanya menghibur para pembaca kontemporer tetapi juga memberikan gambaran sejarah budaya Jepang abad ke-17. Beberapa buku Saikaku diilustrasikan oleh Hishikawa Moronobu (1618–1694) salah satu seniman paling terkenal saat itu.
Selain nilai sastranya, buku-buku Saikaku juga menarik karena melaluinya kita bisa belajar sejarah kehidupan di zaman Edo. Cukup banyak bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga dapat diakses oleh khalayak modern.
Banyak kisah parodi dan humor yang dilebih-lebihkan. Meski begitu tulisannya tentang cinta, kehidupan pedagang, dan pejuang memberikan wawasan tentang kehidupan sehari-hari yang tidak dapat kita temukan di sumber lain.
Sejarah mencatat, sebelum abad ke-17 jumlah melek huruf di Jepang masih terbatas pada bangsawan istana, prajurit berpangkat tinggi, dan pendeta Buddha. Akan tetapi, pertumbuhan kota pada periode Edo awal memfasilitasi penyebaran melek huruf.
Banyak daimyo mendirikan sekolah untuk anak-anak prajurit mereka sehingga mereka dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas administratif yang dibutuhkan zaman baru. Anak-anak rakyat jelata juga bisa mengenyam pendidikan melalui sekolah kuil swasta yang disebut terakoya.
Penyebaran literasi sangat ditingkatkan dengan munculnya penerbitan komersial yang membuat buku lebih mudah tersedia. Teknik percetakan dengan cetakan balok kayu telah diperkenalkan di Jepang dari Tiongkok pada abad ke-8 tetapi penggunaannya sebagian besar terbatas pada produksi teks-teks Buddhis. Buku-buku kebanyakan beredar dalam bentuk manuskrip.
Teknologi percetakan baru Eropa walau memiliki dampak revolusioner di dunia, tetapi hal ini tidak berlaku di Jepang. Sebab tidak cocok untuk mencetak aksara Jepang yang terdiri dari dua huruf kana dan ribuan aksara Tionghoa.
Untuk mencetak buku, terutama dengan gaya kursif kana, jauh lebih mudah untuk menggores teks ke dalam balok kayu dan kemudian menggunakannya untuk mencetak buku. Kesulitan utama dengan pencetakan semacam ini adalah balok-balok itu akan aus setelah beberapa waktu dan harus dibuat ulang.
Mengikuti kesuksesan kisah cinta berjudul Koshoku ichidai otoko Pria yang Mencintai Cinta, Saikaku menulis sebelas buku lagi dengan tema kisah cinta. Wankyu isse no monogatari yang ditulis tahun 1685, menceritakan tentang kisah cinta seorang saudagar Osaka mengejar pelacur dan berakhir dengan kebangkrutan dan kematian. Meskipun ceritanya agak dibesar-besarkan, namun memberi pemahaman tentang nilai-nilai sosial pada saat itu.
Berbeda dengan dua belas buku mengenai kisah cinta, Saikaku hanya menulis tiga buku tentang kehidupan pedagang dan kehidupan samurai.
Pada buku tentang kehidupan pedagang, Saikaku mengirimkan pesan campuran tentang moralitas berbisnis. Akan tetapi, banyak cerita yang mengkritik nilai uang di atas segalanya dan memuji nilai kesederhanaan, penghematan, dan kerja keras. Karya ini merupakan kumpulan cerita tentang kesulitan yang dialami penduduk kota tingkat menengah ke bawah dalam melunasi hutang.
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR