Nationalgeographic.co.id—Seiring dengan lonjakan popularitas Hollywood baru-baru ini, karakter Loki telah menerima lebih banyak perhatian ilmiah daripada tokoh Nordik lainnya dalam 100 tahun terakhir.
“Hal ini terutama disebabkan oleh kemahahadiran dan ambiguitasnya dalam beberapa dokumen mitologi penting yang masih ada,” tulis Lara Colrain, pada lama The Collector.
Nama Loki ditemukan dalam deretan dewa-dewa mitologi Nordik, namun di sisi lain ia juga keturunan raksasa. Sebagian besar kisah, menggambarkannya sebagai sosok yang apokaliptik, licik, suka menipu, cepat marah, dan pengacau.
Meskipun ia adalah bagian dari kelompok dewa, perilaku Loki justru bertentangan dengan tatanan moral yang dianut para dewa.
Hal inilah yang membuat kesetiannya dipertanyakan–terutama saat ia bertarung melawan para dewa dan bukannya berada di sisi mereka melawan musuh bersama.
Menurut Lara, kehadiran Loki bukanlah untuk berpihak atau melawan para dewa, “ia hanya suka menyebabkan kekacauan.”
Namun, untuk semua keburukannya, Loki secara ganda mewakili perubahan psikologis pada tingkat individu dan sosial budaya. Ia adalah karakter penting yang layak untuk ditelaah dalam narasi epik dan mitologi yang menciptakannya.
Dalam semua penggambarannya, ada satu hal yang konstan: Loki ingin meruntuhkan seluruh sistem–peradaban–dengan membawa akhir dunia.
Dengan demikian, menurut Lara, ia menyoroti ketegangan sosiologis antara pusat (mereka yang berkuasa) dan pinggiran (mereka yang tidak berkuasa).
Asal-usul Loki sebagai aktor utama dalam plot drama mitologi Nordik dimulai dari novel “Edda” karya Snorri Sturluson dari Islandia.
Meskipun ia dianggap sebagai tokoh ambivalen di sebagian besar prosa, karakternya berubah untuk mengungkapkan tujuan jahatnya dan secara tidak langsung terlibat dalam kematian dewa Baldr, putra "emas" kesayangan Odin.
Jenis kelaminnya juga tidak jelas karena kemampuannya untuk berubah bentuk menjadi makhluk lain, termasuk perempuan.
Ambiguitas gender ini, menurut beberapa ahli, mencerminkan sebuah masalah yang problematis mengenai konteks di mana para dewa membuat aliansi perkawinan.
“Loki, secara khusus, menentang nilai-nilai Kristen yang "beradab", yang menjadi perhatian masyarakat Islandia pada abad ke-13,” kata Lara.
Dari perspektif arkeologi, Loki telah diidentifikasi sebagai sosok pada batu datar Snaptun di Denmark yang diukir pada sekitar tahun 1000 Masehi.
Ia juga hadir sebagai sosok yang terikat dengan tanduk dan janggut pada salib abad ke-10 di Gereja Santo Stefanus, Kirkby Stephen, di Cumbria, Inggris, serta Salib Gosforth dari abad ke-11, yang juga berada di Cumbria.
Sebuah Metafora untuk Perubahan
Terlepas dari sifatnya yang merusak dan tak acuh, menurut Lara, Loki melambangkan metafora yang kuat untuk perubahan transisi.
“Dengan menyebabkan kekacauan, menantang sistem, menguji batas-batas, dan menyebabkan perubahan yang tiba-tiba, Loki bertindak sebagai metafora untuk perubahan yang tidak dapat diprediksi di satu sisi dan pentingnya mengelolanya di sisi lain,” kata Lara.
Ia menambahkan, selama Loki dapat diatasi, peradaban akan tetap aman. Kita harus tetap mengawasi perubahan dan sistem yang menemui jalan buntu.
“Oleh karena itu, Loki adalah pengingat penting tentang bagaimana, tanpa perubahan, peradaban yang paling sempurna sekalipun akan runtuh,” imbuhnya.
Loki dalam Budaya Populer
Loki telah berevolusi sejak awal kemunculannya di abad ke-13. Ia tampil dalam berbagai serial televisi, film, dan video game. Mungkin Anda juga tahu, yang paling terkenal adalah dalam komik Marvel Amerika sebagai Loki Laufeyson.
Dalam komik, ia didasarkan pada dewa Nordik asli Loki, Dewa Kerusakan Asgardian. Ia adalah anak angkat Raja Odin, saudara angkat superhero Thor, dan merupakan penjahat super dan antihero.
Serial komik ini menjadi awal dari "ketenaran" Loki sebagai karakter utama di Marvel Cinematic Universe (MCU).
Penggemar Marvel menganggap Loki sebagai penjahat terbaik dalam sejarah perusahaan hiburan ini. Bahkan sebuah lelucon mengatakan bahwa Loki yang jahat lebih populer daripada semua pahlawan yang digabungkan.
Jadi, apa yang membuat orang menyukai tokoh jahat ini? Mungkin ini adalah pepatah kuno yang mengatakan bahwa "Semua orang menyukai penjahat."
Namun, ada sisi lain dari penipu pengkhianat ini. Ia menawan, pintar, bertekad kuat, lucu, berkuasa, teraniaya, rentan, dan pada akhirnya ingin menjadi baik. Dalam dokumen mitologi dan konteks Marvel, ia selalu berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya.
“Jadi, pada intinya, terlepas dari semua kekacauan yang terjadi, penonton masih menginginkan lebih banyak dari Loki–dan memaafkannya–karena dia selalu berusaha untuk mengimbangi tindakannya yang sembrono,” terang Lara.
Kemunculan Sylvie–Loki versi wanita– turut memainkan peran penting dalam pengembangan karakter Loki. Karakter tersebut pertama kali muncul dalam Musim 1 acara TV “Loki”.
Sylvie menantang pandangannya yang egois, dan Loki dipaksa untuk menghadapi iblisnya serta menemukan hal yang baik di dalam dirinya. Hubungan yang ia bentuk dengan Sylvie membuat mereka saling peduli satu sama lain.
Pada dasarnya, mereka jatuh cinta pada diri mereka sendiri, yang dapat ditafsirkan sebagai narsisme. Namun, hal ini juga dapat dilihat sebagai mempraktikkan seni mencintai diri sendiri–sesuatu yang dapat dipahami oleh individu kontemporer.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR