Ambiguitas gender ini, menurut beberapa ahli, mencerminkan sebuah masalah yang problematis mengenai konteks di mana para dewa membuat aliansi perkawinan.
“Loki, secara khusus, menentang nilai-nilai Kristen yang "beradab", yang menjadi perhatian masyarakat Islandia pada abad ke-13,” kata Lara.
Dari perspektif arkeologi, Loki telah diidentifikasi sebagai sosok pada batu datar Snaptun di Denmark yang diukir pada sekitar tahun 1000 Masehi.
Ia juga hadir sebagai sosok yang terikat dengan tanduk dan janggut pada salib abad ke-10 di Gereja Santo Stefanus, Kirkby Stephen, di Cumbria, Inggris, serta Salib Gosforth dari abad ke-11, yang juga berada di Cumbria.
Sebuah Metafora untuk Perubahan
Terlepas dari sifatnya yang merusak dan tak acuh, menurut Lara, Loki melambangkan metafora yang kuat untuk perubahan transisi.
“Dengan menyebabkan kekacauan, menantang sistem, menguji batas-batas, dan menyebabkan perubahan yang tiba-tiba, Loki bertindak sebagai metafora untuk perubahan yang tidak dapat diprediksi di satu sisi dan pentingnya mengelolanya di sisi lain,” kata Lara.
Ia menambahkan, selama Loki dapat diatasi, peradaban akan tetap aman. Kita harus tetap mengawasi perubahan dan sistem yang menemui jalan buntu.
“Oleh karena itu, Loki adalah pengingat penting tentang bagaimana, tanpa perubahan, peradaban yang paling sempurna sekalipun akan runtuh,” imbuhnya.
Loki dalam Budaya Populer
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR