Nationalgeographic.co.id—Pertempuran Sungai Talas adalah pertikaian antara Kekaisaran Tang Tiongkok dan Arab Abbasiyah. Dampak perang ini tak hanya kerasa untuk Tiongkok dan Asia Tengah saja, namun juga untuk seluruh dunia.
Asia pada abad ke-8 adalah sebuah mosaik yang terus berubah dari berbagai kekuatan suku dan regional. Era ini ditandai dengan serangkaian pertempuran, aliansi, persekutuan, persilangan, dan pengkhianatan yang memusingkan.
“Pada saat itu, tidak ada yang tahu bahwa suatu pertempuran, yang terjadi di tepi Sungai Talas di Kirgistan saat ini, akan menghentikan kemajuan Arab dan Cina di Asia Tengah dan menetapkan batas antara Asia Buddha/Konfusianisme dan Asia Muslim,” tulis Kallie Szczepanski, pada laman ThoughtCo.
Pertempuran ini juga berperan penting dalam mentransmisikan penemuan Tiongkok ke dunia barat: seni pembuatan kertas, sebuah teknologi yang akan mengubah sejarah dunia selamanya.
Latar Belakang Pertempuran
Selama beberapa waktu, Kekaisaran Tang yang kuat (618-906) dan para pendahulunya telah memperluas pengaruh Tiongkok di Asia Tengah. Tiongkok mengandalkan serangkaian perjanjian perdagangan dan protektorat nominal daripada penaklukan militer untuk mengendalikan Asia Tengah.
Musuh paling merepotkan yang dihadapi oleh Tang sejak tahun 640 adalah Kekaisaran Tibet, yang didirikan oleh Songtsan Gampo. Tiongkok juga menghadapi tantangan dari Uighur Turki di barat laut, Turki Indo-Eropa, dan suku-suku Laos/Thailand di perbatasan selatan Tiongkok.
Sementara Tang disibukkan dengan semua musuh-musuh tersebut, sebuah negara adidaya baru muncul di Timur Tengah.
Pasca wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632, umat Muslim di bawah Dinasti Umayyah (661-750) segera menguasai wilayah yang luas.
Kallie menggambarkan, bahwa penaklukan Arab menyebar dengan kecepatan yang menakjubkan. “Dari Spanyol dan Portugal di barat, melintasi Afrika Utara dan Timur Tengah, dan terus ke kota-kota oasis Merv, Tashkent, dan Samarkand di timur.”
Kepentingan Tiongkok di Asia Tengah setidaknya sudah ada sejak tahun 97 SM, ketika jenderal Dinasti Han, Ban Chao, memimpin 70.000 tentara hingga ke Merv. Mereka memburu para bandit yang memangsa kafilah-kafilah Jalur Sutra pada masa-masa awal.
Tiongkok juga telah lama menjalin hubungan dagang dengan Kekaisaran Sassaniyah di Persia, dan juga dengan pendahulunya, bangsa Parthia.
“Persia dan Tiongkok telah berkolaborasi untuk memadamkan kekuatan Turki yang sedang bangkit, dengan mempermainkan para pemimpin suku yang berbeda satu sama lain,” kata Kallie.
Konflik Awal Tiongkok dan Arab
Tak pelak lagi, ekspansi kilat yang dilakukan oleh bangsa Arab akan berbenturan dengan kepentingan Tiongkok yang sudah mapan di Asia Tengah.
Pada 651, Ummaiyyah merebut ibu kota Sassania di Merv dan mengeksekusi rajanya, Yazdegerd III. Dari pangkalan ini, mereka kemudian menaklukkan Bukhara, Lembah Ferghana, dan sampai ke timur sampai ke Kashgar (di perbatasan Cina/Kirgistan saat ini).
Berita tentang nasib Yazdegard dibawa ke ibu kota Cina, Chang'an (Xian), oleh putranya, Firuz, yang melarikan diri ke Cina setelah kejatuhan Merv.
Pada 715, bentrokan bersenjata pertama antara kedua kekuatan ini terjadi di Lembah Ferghana, Afghanistan.
Bangsa Arab dan Tibet menggulingkan Raja Ikhshid dan melantik seorang pria bernama Alutar sebagai penggantinya. Ikhshid meminta Tiongkok untuk campur tangan atas namanya, dan Tang mengirim 10.000 tentara untuk menggulingkan Alutar dan mengembalikan Ikhshid.
Dua tahun kemudian, tentara Arab/Tibet mengepung dua kota di wilayah Aksu, yang sekarang dikenal sebagai Xinjiang, Tiongkok barat. Namun, pasukan Arab harus mundur setelah Tiongkok mengrimim tentara bayaran Karluk.
“Pada tahun 750, Kekhalifahan Umayyah runtuh, digulingkan oleh Dinasti Abbasiyah yang lebih agresif,” kata Kallie.
Dari ibu kota pertama mereka di Harran, Turki, Kekhalifahan Abbasiyah mulai mengkonsolidasikan kekuasaan warisan Umayyah yang luas. Salah satu wilayah yang menjadi perhatian adalah daerah perbatasan timur–Lembah Ferghana dan sekitarnya.
Kallie menjelaskan, bentrokan yang menentukan di Sungai Talas dipicu oleh perselisihan lain di Ferghana. Pada 750, raja Ferghana berselisih dengan penguasa negara tetangga, Chach.
“Ia memohon bantuan kepada Tiongkok, yang kemudian mengirim Jenderal Kao untuk membantu pasukan Ferghana,” katanya. “Kao mengepung Chach, menawarkan raja Chachan jalan yang aman untuk keluar dari ibukotanya, kemudian mengingkari dan memenggal kepalanya.”
Putra raja Chachan melarikan diri dan melaporkan kejadian tersebut kepada gubernur Arab Abbasiyyah, Abu Muslim, di Khorasan.
Abu Muslim mengumpulkan pasukannya di Merv dan bergerak untuk bergabung dengan pasukan Ziyad ibn Salih lebih jauh ke timur. Orang-orang Arab bertekad untuk memberikan pelajaran kepada Jenderal Kao.
Pertempuran Sungai Talas
Pada Juli 751, pasukan dari dua kerajaan besar ini bertemu di Talas, dekat perbatasan Kirgistan/Kazakhstan sekarang.
Catatan Cina menyatakan bahwa tentara Tang berkekuatan 30.000 orang, sementara catatan Arab menyebutkan jumlah orang Cina mencapai 100.000 orang. Jumlah total prajurit Arab, Tibet, dan Uighur tidak tercatat, tetapi jumlah mereka lebih besar di antara kedua pasukan tersebut.
Setelah lima hari bertempur, pasukan Turki Karluk bergabung ke pihak Arab. Sumber-sumber Tiongkok menyiratkan bahwa suku Karluk awalnya berperang untuk mereka, namun secara diam-diam berpindah pihak di tengah-tengah pertempuran.
Di sisi lain, catatan-catatan Arab menunjukkan bahwa kaum Karluk telah bersekutu dengan kaum Abbasiyyah sebelum konflik terjadi.
Menurut Kallie, sejumlah catatan modern Tiongkok masih menunjukkan kemarahan atas pengkhianatan yang dilakukan karluk. “Apapun masalahnya, serangan Karluk menandakan awal dari akhir bagi pasukan Kao Hsien-chih.”
Bagi bangsa Arab, pertempuran ini juga menandai titik balik yang tidak disadari. Menariknya, mereka tidak banyak bicara selama beberapa waktu setelah peristiwa tersebut.
Sejarawan Muslim abad kesembilan, al-Tabari (839-923), bahkan tidak pernah menyebutkan Pertempuran Sungai Talas.
Baru setelah setengah milenium setelah pertempuran tersebut, sejarawan Arab mencatat tentang Talas, dalam tulisan Ibn al-Athir (1160 hingga 1233) dan al-Dhahabi (1274 hingga 1348).
Namun demikian, Pertempuran Talas memiliki konsekuensi penting. Kekaisaran Tiongkok yang melemah tidak lagi berada dalam posisi untuk ikut campur di Asia Tengah, sehingga pengaruh Arab Abbasiyyah semakin besar.
Yang paling penting dari semuanya, sejumlah orang dari tawanan perang yang ditangkap adalah pengrajin Tiongkok. Melalui mereka, dunia Arab dan kemudian seluruh Eropa mempelajari seni pembuatan kertas.
“Munculnya teknologi kertas, bersama dengan pencetakan cukilan kayu dan kemudian pencetakan tipe bergerak, mendorong kemajuan dalam sains, teologi, dan sejarah Abad Pertengahan Tinggi Eropa, yang berakhir dengan datangnya Maut Hitam pada tahun 1340-an,” pungkas Kallie.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR