Eropa kemudian digambarkan secara luas hidup dalam periode Zaman Kegelapan antara tahun 500 hingga 1500.
Periode waktu itu sebenarnya telah menarik perhatian para sejarawan. Hal itu karena ada tingkat tumpang tindih dalam periode waktu itu, variasi budaya dan regional, serta banyak faktor lainnya.
Periode waktu itu juga sering disebut dengan istilah seperti Abad Pertengahan atau Periode Feodal. Yang terakhir menjadi istilah lain yang sekarang menjadi perdebatan di kalangan Abad Pertengahan.
Belakangan, seiring dengan semakin banyaknya bukti yang terungkap setelah abad ke-18, para ahli mulai membatasi istilah 'Zaman Kegelapan' pada periode antara Abad ke-5 dan ke-10. Periode tersebut kemudian disebut sebagai Abad Pertengahan Awal.
Kemudian untuk periode antara abad ke-11 dan abad ke-13 disebut dengan Abad Pertengahan tengah, sedangkan untuk periode Abad ke-14 dan ke-15 disebut dengan periode Abad Pertengahan Akhir.
Mengabaikan 'Zaman Kegelapan'
Memberi label pada periode sejarah yang besar ini sebagai masa dengan sedikit kemajuan budaya dan masyarakatnya sebagai masyarakat yang terbelakang, mungkin dianggap sedikit berlebihan.
Beberapa ahli menilainya sebagai sebuah generalisasi yang luas dan sering kali dianggap kurang tepat. Bahkan beberapa dari mereka ada yang berpendapat bahwa ‘Zaman Kegelapan’ tidak pernah benar-benar terjadi.
Di masa itu, ditandai dengan meningkatnya aktivitas misionaris Kristen, tampaknya kerajaan-kerajaan dalam sejarah Abad Pertengahan Awal hidup di dunia yang sangat saling berhubungan.
Gereja Inggris mula-mula misalnya sangat bergantung pada para imam dan uskup yang pernah belajar di luar negeri.
Pada akhir abad ke-7, uskup agung Theodore mendirikan sebuah sekolah di Canterbury yang kemudian menjadi pusat pembelajaran ilmiah utama di Anglo-Saxon Inggris.
Theodore sendiri berasal dari Tarsus di Asia Kecil tenggara. Wilayah itu sekarang dikenal dengan Turki tengah-selatan dan pernah belajar di Konstantinopel.
Source | : | History Hit |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR