Nationalgeographic.co.id—Sulit untuk membayangkan seperti apa lanskap sinema hari ini tanpa terobosan genre film tahun 1920-an ini. Dengan sesaknya simbolisme dan tema gelap yang berani, film Ekspresionis Jerman melesat menguasai negara yang terguncang akibat Perang Dunia I.
Ekspresionisme Jerman dalam sinema dikenal dengan sudut kamera yang dramatis, bayangan yang menjulang tinggi, ilusi optik, anti-pahlawan yang angker. Selain itu, ekspresionisme Jerman juga memiliki akhir cerita yang mengejutkan.
Apa itu Ekspresionisme Jerman?
Ekspresionisme Jerman adalah gerakan seni pada awal abad ke-20, yang sangat berpengaruh namun sangat sulit untuk dijabarkan.
Inkarnasi sinematiknya merupakan cabang dari gerakan Ekspresionisme yang lebih besar, yang memiliki dampak besar pada berbagai jenis seni di awal 1900-an. Ekspresionisme berusaha mengekspresikan emosi dan subjektivitas individu, daripada menggambarkan kesan dunia yang realistis.
Menurut Kat Bello, seorang seniman dan penulis sejarah seni dari Universitas Federal Parana, Karya seni ekspresionis sering kali menggambarkan keterasingan, kegelisahan, dan seksualitas dunia modern.
“Ekspresionis menggunakan warna-warna yang berani dan tidak realistis, garis-garis yang bergerigi, serta bentuk-bentuk yang semi abstrak dan berlebihan,” kata Bello.
Sinema Ekspresionisme Jerman berada di titik temu dari bentuk-bentuk seni ini. Film ini berkembang pesat pada tahun 1920-an, satu dekade setelah dimulainya ekspresionisme dalam seni visual dan sastra.
Pasca kehancuran Perang Dunia Pertama, gerakan ini membawa ide-ide inovatif dan kisah-kisah yang mengganggu ke layar film bisu. Mise en scene–perancangan panggung dan penataan aktor dalam adegan–dalam film ini tidak menggunakan realisme.
Sebaliknya, film ini mengekspresikan sudut pandang subjektif, berusaha untuk membenamkan penonton dalam narasi yang bengkok dan kisah-kisah yang menghantui.
Latar Belakang: Perang Dunia I dan Republik Weimar
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR