Nationalgeographic.co.id—960 ribu anak-anak di Indonesia terpaksa mengungsi akibat bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim dalam rentang tahun 2016—2021. Angka ini merupakan bagian dari laporan UNICEF terkait kondisi anak-anak di seluruh dunia yang sangat terdampak akan bencana cuaca dari perubahan iklim.
“Sangat menakutkan bagi anak mana pun ketika kebakaran hutan, badai, atau banjir yang dahsyat melanda komunitas mereka,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Cahterine Russel, dalam rilis laporan.
Lebih lengkapnya, dalam laporan UNICEF menyebutkan bahwa 43 juta anak terpaksa meninggalkan rumahnya akibat cuaca ekstrem selama enam tahun terakhir. Angka ini setara dengan 20.000 anak-anak yang mengungsi setiap harinya.
“Bagi mereka yang terpaksa mengungsi, ketakutan dan dampaknya bisa sangat menghancurkan, yaitu kekhawatiran apakah mereka akan kembali ke rumah, melanjutkan sekolah, atau terpaksa pindah lagi," kata Russel.
"Berpindah tempat tinggal mungkin telah menyelamatkan nyawa mereka, namun juga sangat mengganggu. Ketika dampak perubahan iklim meningkat, gerakan-gerakan yang didorong oleh iklim juga akan meningkat.
Anak-anak adalah kelompok masyarakat yang sangat berisiko untuk mengungsi ketika bencana terjadi. Posisi mereka semakin berisiko, terutama di negara yang mereka tinggali harus bergulat dengan krisis-krisis lainnya yang datang bersamaan dengan bencana, seperti konflik dan kemiskinan.
95 persen atau sekitar 40,9 juta dari yang terpaksa mengungsi disebabkan oleh banji dan bencana. Hal itu diungkapkan dalam analisis pertama oleh UNICEF dan Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC). Sisanya, bencana lainnya yang memaksa anak-anak adalah kebakaran hutan dan kekeringan.
Dalam laporan berdasarkan geografis, 22,3 juta pengungsi anak-anak mendominasi di Tiongkok, Filipina, dan India. Ketiga negara ini sangat rentan terkena cuaca ekstrem seperti hujan monsun dan angin topan, sehingga pemukiman tempat anak-anak tinggal memerlukan evakuasi preventif.
Lebih besar dari itu, anak-anak yang tinggal di negara kepulauan (termasuk Indonesia), dan di semenanjung barat Afrika (seperti Ethiopia dan Somalia). Mayoritas negara-negara kepulauan menghadapi ancaman nyata akibat perubahan iklim, mulai dari peningkatan suhu hingga kenaikan muka laut.
Sedangkan negara-negara Semenanjung Afrika Barat selain hanya menghadapi cuaca ekstrem, kondisi sosial politiknya tidak menentu. Anak-anak terpaksa mengungsi karena kondisi konflik, tata kelola yang buruk, dan sumber daya yang kurang akibat eksploitasi yang tumpang tindih.
Ada pula negara pulau yang berada di tengah krisis dan bencana seperti Haiti. Letak geografisnya di Laut Karibia sangat rentan akan bencana alam akibat iklim laut, seperti siklon. Haiti saat ini sedang dilanda krisis yang berbuah kekerasan dan kemiskinan, investasi yang terbatas dalam mitigasi dan kurangnya kesiapsiagaan risiko.
Selanjutnya, lebih dari 1,3 juta anak mengungsi akibat kekeringan yang berdampak pada kebakaran hutan. Negara yang memiliki jumlah pengungsi anak-anak tinggi pada kategori ini adalah Somalia dengan jumlah 810.000 anak mengungsi. Bencana ini juga menerpa pada anak-anak di Kanada, Israel, dan AS.
“Ini benar-benar perkiraan yang konservatif, dan mungkin hanya puncak gunung es dari beberapa dampak iklim,” kata Verena Knaus, pimpinan UNICEF bidang Global Lead on Migration and Displacement, dikutip dari The Guardian.
“Iklim adalah penyebab paling cepat terjadinya perpindahan anak, namun sebagian besar kebijakan dan diskusi mengenai pendanaan iklim gagal mempertimbangkan atau memprioritaskan anak-anak.”
Russel menambahkan "Kita mempunyai alat dan pengetahuan untuk menanggapi tantangan yang semakin meningkat bagi anak-anak ini, namun kita bertindak terlalu lambat. Kita perlu memperkuat upaya untuk mempersiapkan masyarakat, melindungi anak-anak yang berisiko menjadi pengungsi, dan mendukung mereka yang terpaksa mengungsi.”
Isu ini rencananya akan dibawa oleh UNICEF dalam pertemuan KTT Perubahan Iklim COP28 di Dubai pada November 2023. Mereka mendesak agar berbagai pihak termasuk pemerintah, donor, mitra pembangunan, dan sektor swasta agar dapat mengambil tindakan untuk melindungi anak-anak dan remaja yang terancam mengungsi di masa depan.
Tidak hanya itu, pemangku kepentingan juga harus membantu dalam persiapan anak-anak menghadapi situasi yang memaksa mereka untuk mengungsi. Pemangku kepentingan juga harus mempersiapkan lingkungan hidup yang baik bagi masyarakat, di mana di dalamnya terdapat anak-anak, dari keharusan untuk mengungsi.
Source | : | UNICEF,The Guardian |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR