Nationalgeographic.co.id—Yordania sempat menguasai kawasan Tepi Barat, Palestina, dari cengkeraman Israel pada awal Perang Enam Hari tahun 1967. Hanya saja, perang singkat dalam sejarah dunia ini justru membuahkan kekalahan.
Selain karena termotivasi perjuangan bangsa Arab oleh Mesir, Kerajaan Yordania sebenarnya adalah rumah bagi warga Palestina yang mengungsi dalam sejarah dunia. Pada tahun 1970, setidaknya dua pertiga penduduk negara tersebut adalah warga Palestina.
Sejak peristiwa Nakba pada 1948, Perang Enam Hari, dan sengketa tanah untuk mendirikan kawasan penduduk Israel, warga Palestina harus mengungsi ke berbagai negara Arab, termasuk Yordania.
Hal ini membuat Yordania juga menjadi tempat bagi Organisasi Kemerdekaan Palestina (PLO) dan Front Popular untuk Pembebasan Palestina (PLFP). Keberadaan mereka justru mengancam tatanan Kerajaan Yordania dengan menggulingkan Raja Hussein I. Peristiwa ini disebut sebagai September Hitam dalam sejarah dunia di Yordania.
Awalnya, kedua kelompok perjuangan kemerdekaan Palestina ini hendak melawan Israel setelah Perang Enam Hari. Mereka menyerang Israel dalam Perang Atrisi yang berlangsung dari tahun 1967 sampai 1970. Sebagian besar, Perang Atrisi terjadi di Sinai antara Mesir dan Israel. PLO pun meluncurkan serangan dari Mesir, Yordania, dan Lebanon.
Hanya saja, Hussein I tidak tertarik dengan perang ini. Dia tidak ingin warga Palestina menyerang Israel dari wilayahnya termasuk dari Tepi Barat.
Sebagai informasi tambahan, Yordania menganeksasi Tepi Barat sejak 1950. Raja Husein juga memberikan kewarganegaraan Yordania kepada warga Palestina di Tepi Barat setelah peristiwa Nakba. Namun, kawasan ini dikuasai Israel setelah Perang Enam Hari. Yordania baru benar-benar melepas klaim aneksasinya pada 1989.
Sebagai upaya mempertahankan negaranya, Hussein I mempertahankan pendiriannya dengan berhubungan secara rahasia dan lebih ramah dengan Israel selama Perang Artisi. Hanya saja, cara ini membuat Yordania berada di antara dua kepentingan antara menjaga hubungan dengan Israel, dan populasi Palestina yang besar dan terus ingin melawan negara zionis itu.
Warga Palestina sendiri semakin panas ketika Perdana Menteri Israel Golda Meir menyatakan hal yang kontroversial dalam sejarah dunia, "Tidak ada yang namanya bangsa Palestina". Mereka ingin membuktikan identitasnya dan menginginkan kemerdekaan di tanah mereka, Palestina.
Situasi antara warga Palestina beserta organisasi pembebasannya dan monarki Yordania semakin terpecah pada Juli 1970.
PLFP yang beraliran Marxis-Leninisme sangat mengkritik Kerajaan Yordania yang setengah-setengah dalam perihal warga Palestina, dan berjanji akan "mengubah Timur Tengah menjadi neraka".
Sedangkan ketua PLO saat itu, Yasser Arafat, berpidato kepada ribuan demonstran di Amman pada 31 Juli. Ia akan mengadakan pertempuran semacam Marathon yang terjadi pada 490 SM dan bersumpah "kita akan memerdekakan negeri kita".
Source | : | thought.co,The Wire |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR