Nationalgeographic.co.id—Sejak berdiri pada Januari 1888, National Geographic sebagai media yang mengungkapkan sains dan penjelajahan telah menyebar di berbagai negara, termasuk di Asia. Akan tetapi, berbagai tantangan harus dihadapi dari setiap negara dan waktu yang terus berubah. Tidak sedikit dari edisi lokal harus tutup karena tantangan ini.
7 Oktober 2023, National Geographic regional Asia seperti Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan, berkumpul di Bangkok. Pertemuan itu diadakan dalam konferensi National Geographic Media APAC Best Practices & Brainstorm. Setiap kepala redaksi negara-negara Asia-Pasifik berbagi cerita tentang majalah dan jenama National Geographic dikelola di lima negara.
"Tantangan yang kita hadapi saat ini hanya yang berkaitan dengan mempublikasikan konten yang bagus," kata Yungshih Lee, Editor in Chief edisi Taiwan. "Itu tidak cukup untuk membuat kita bertahan hidup lebih lama."
Menurut Lee, National Geographic di berbagai negara di Asia tidak bisa selamanya mengandalkan majalah. Era publikasi media sudah berbeda dari analog ke digital, sehingga kebiasaan masyarakat pun turut berubah.
Oleh karena itu, melalui pertemuan itu para pemimpin redaksi juga berbagi cara terbaik yang dilakukan masing-masing negara. Demi menghidupi edisi setiap negara, mereka juga berbagi ide dan memilai proyek kolaborasi baru yang dapat muncul di masa depan untuk menyajikan berbagai kisah.
Konferensi ini merupakan bagian dari acara Sustainability Expo 2023 (SX2023). Setiap cerita dari masing-masing negara didengarkan dan diamati oleh perwakilan National Geographic Asia di bawah The Walt Disney Company.
Taiwan: Inovasi Lebih Dekat dengan Komunitas
Lebih lanjut, Lee menjelaskan bahwa penjualan majalah National Geographic edisi Taiwan mengalami "penurunan yang tidak mengejutkan," dan iklan yang juga turut menurun. Upaya adaptasi mereka adalah membuat konten dokumenter lokal yang menghasilkan beberapa pertumbuhan pada penjualan mereka, walau kurang dari kata memuaskan.
Walau tren penjualan menurun, nama National Geographic Taiwan masih mendapat hati di kalangan masyarakat. Hal itu dapat dibuktikan setiap kali penayangan konten dokumenter dengan jumlah rata-rata pengguna aktif sekitar satu juta setiap bulannya.
Edisi Taiwan pun membuat pemasukan tambahan pada publikasi digitalnya. Beberapa konten dapat dinikmati atau dibaca secara gratis, dan konten premium yang dapat dibaca secara gratis lima artikel per bulan. Jika ingin mendapatkan bacaan yang lebih lengkap dari konten premium, pengguna harus membayar keanggotaan.
Di media sosial, National Geographic Taiwan mendapatkan respons yang baik. Contohnya, di Facebook mereka memiliki jutaan pengikut dan jangkauan setiap bulannya. Begitu juga di YouTube dan Instagram dengan ratusan ribu pengikut.
Demi menarik komunitas, edisi Taiwan memiliki cara berbeda. Mereka memperluas jenama ke berbagai acara seperti pameran foto New Age of Exploration yang menampilkan konten dan foto dari berbagai edisi majalah yang telah dipublikasikan.
Ajang lainnya yang diadakan adalah perlombaan yang diadakan setahun seperti National Geographic World Ocean Day Run dan National Geographic Wildlife Run. Ajang ini diadakan di lebih dari 20 kota di Taiwan dan Tiongkok, bahkan diikuti 4.000—7.000 peserta.
Pemasukan lain yang diterapkan oleh edisi Taiwan adalah memperluas produksi menggunakan konten citra satwa liar. Foto dan gambar satwa liar dari proyek Photo Ark National Geographic yang dikumpulkan dari seluruh dunia. Ditambah, edisi Taiwan menggelar NatGeo Science Box yang merupakan rancangan model dan mainan pembelajaran berdasarkan sains National Geographic.
Indonesia: Kekayaan Lokal dan Kerja Sama
"Orang Indonesia lebih tertarik pada keragaman negara mereka daripada konten asing," kata Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief majalah National Geographic Indonesia.
Pasalnya, Indonesia memiliki kekayaan berupa belasan ribu jumlah pulau, 800 bahasa lokal, 1.340 suku lokal, dan lebih dari 300 kelompok budaya lokal. Tema lokal ini menjadi perhatian bagi National Geographic Indonesia.
"Penduduk setempat di setiap wilayah Indonesia punya cerita mereka sendiri," kata Didi. "Mereka ingin cerita mereka didengar, tetapi hanya sedikit media nasional yang tertarik dengan cerita mereka."
Edisi Indonesia membawa kekuatan National Geographic berupa pemetaan bersama dengan pengetahuan dan cerita lokal. Pada edisi tertentu, majalah sering menyisipkan peta wilayah Indonesia dengan pamflet edukatif berupa informasi tentang spesies unik setiap daerah. Cara ini menambah minat pembaca untuk mengikuti majalah.
Dalam peliputan untuk majalah, edisi Indonesia lebih sering bekerja sama dengan organisasi yang punya ketertarikan pada daerah tertentu. Dengan bekerja sama dengan organisasi seperti lembaga konservasi atau kebudayaan, mendukung kekuatan cerita dan menghidupkan masyarakat lokal di daerah.
Dalam rencananya, edisi Indonesia akan membawa kampanye konservasi sendiri berupa Sisir Pesisir pada 2024. Kampanye ini adalah program pencegahan bencana ekologis dengan memetakan suhu laut dan kondisi terumbu karang di wilayah pesisir. Rencana ini dilakukan dengan bekerja sama dengan berbagai pemandu lokal.
Jepang: Dokumenter dan Acuan Pengetahuan Pelajar
Seperti di Taiwan, majalah National Geographic edisi Jepang juga mengalami penurunan penjualan. Shigeo Otsuka, pemimpin redaksi edisi Jepang mengungkapkan bahwa terkadang penurunan diiringi oleh peningkatan edisi khusus seperti "Harta Karun Tut 100 Tahun Kemudian" tahun 2022.
Pada edisi itu, National Geographic Jepang berkolaborasi dengan peneliti kajian Mesir kuno Yukinori Kawae. Dia juga merupakan pemengaruh tentang Mesir kuno yang sangat terkenal di Jepang. Keterlibatan Kawae pada majalah kota kuning ini adalah menulis perspektif Jepang tentang sejarah Mesir dan menerbitkan film dokumenter terkait penemuan mumi dan budaya Mesir kuno.
Kolaborasi ini pada akhirnya membawa National Geographic edisi Jepang mengalami peningkatan promosi. Secara penjualan, edisi Harta Karun Tut 100 Tahun Kemudian menjadi yang tertinggi di Jepang dalam tiga tahun terakhir.
Edisi Jepang juga memanfaatkan pemetaan dan pamflet pengetahuan. Fotografi satwa liar dari berbagai dunia juga digunakan dalam pamflet atau dokumenter yang diambil dari Photo Ark National Geographic. Pembahasan yang lebih hangat untuk diangkat di National Geographic edisi Jepang adalah Ukraina setelah perang dengan Rusia.
Cara lain bagi edisi Jepang untuk bertahan dalam model bisnisnya adalah bermitra dengan media daring dan media, termasuk Yahoo—merupakan situs pencari yang paling banyak digunakan di Jepang—dalam mempublikasikan konten di situs.
Penguatan kesadaran jenama dilakukan, seperti diskusi panel daring bersama pelanggan setia. Edisi Jepang juga bermitra dengan SMA dan SMP Seiritsu Gakuen, untuk menjadi sumber referensi pembelajaran independen sebagai kurikulum sekolah.
Selain sekolah, Teikyo University telah menjadi mitra National Geographic edisi Jepang. Kemitraan ini membantu meningkatkan citra sains pihak universitas dan pendapatan majalah.
Korea Selatan: Pameran Foto dan Film Dokumenter
Korea Selatan terkenal dengan berbagai pameran seni. June Mo Kim, pemimpin redaksi majalah National Geographic Korea memanfaatkan perkembangan ini dalam edisi majalah seperti artikel panjang dan foto.
Edisi Korea Selatan menampilkan cerita dan foto-foto majalah terkenal di dunia sebagai pameran seni. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak 2010, menjadi salah satu negara pertama di Asia Pasifik yang memulai pameran.
Pada musim pertama, edisi Korea Selatan mengadakan pameran bertema "Life and Nature" dengan kisah fotografi alam dan manusia pada Oktober hingga Desember 2010. Jumlah pengunjung pamerannya mencapai ratusan ribu. Jumlahnya pun terus bertambah hingga musim keempat yang diadakan di berbagai kota di Korea Selatan pada 2019.
Hasil pendapatan dari pameran ini melengkapi distribusi majalah National Geographic Korea yang memadai untuk tetap tayang.
Thailand: Kelokalan, Penguatan Jenama, dan Kesadaran Daring
Redaksi National Geographic edisi bahasa Thailand dipimpin oleh Kowit Phadungruangkij. Mereka mengungkapkan bahwa penjualan majalah telah memuaskan pada batas tertentu. Prinsip dalam manajemen konten majalah memuat lebih banyak cerita dari dalam negeri.
Edisi Thailand juga menghadirkan film dokumenter besar yang mengikuti dari edisi utama yang dibahas majalah Amerika Serikat dengan versi lokal. Misalnya, ketika "Secret of the Elephants" tayang, edisi Thailand menghadirkan "Thai Elephants".
Konsentrasi mereka saat ini adalah pembuatan konten untuk membangun kesadaran jenama di media daring, termasuk di situs web mereka. Di sosial media, khususnya Facebook, edisi Thailand memiliki 1.1 juta pengikut. Angka ini mendorong pendapatan iklan di media daring yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Media daring dari edisi Thailand memuat berbagai konten yang dapat menjadi referensi untuk belajar sains, ilmu sosial, dan sejarah, untuk anak-anak di sekolahan, sehingga membantu guru untuk meningkatkan prestasi pendidikan.
Selain itu, media sosial edisi Thailand juga mengadopsi tindakan untuk penyajian dokumenter yang menjadi penting bagi masyarakat Thailand. Setiap periode terdapat berbagai dokumenter yang harus menjadi dibincangkan oleh masyarakat, salah satunya "Sithep Historical Park" yang baru saja diusulkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Di luar redaksi dan media sosial, edisi Thailand juga mendistribusikan majalah dalam berbagai agenda pameran. Beberapa film dokumenter pun ditayangkan secara terbuka di berbagai acara, tahapan, talkshow, dan pameran.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR