Oleh Titik Kartitiani
Nationalgeographic.co.id—Baginya, tumbuhan adalah kanvas hidup. Ia mengubah benih menjadi karya seni. Ketekunan yang tak terhapus oleh musim, berpuluh tahun lamanya. Ratusan kuntum disilang tiap harinya, ratusan silangan baru dari berbagai marga tumbuhan telah dilahirkannya.
Tahun 2010, sebuah pesawat kepresidenan landing di Bandara Domine Eduard Osok. Pesawat itu membawa rombongan Mufidah Jusuf Kalla untuk membuka Munas Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI). Gregori Garnadi Hambali atau akrab disapa Greg Hambali salah satu penumpang itu.
Dia menyeret dua koper super besar dan tampak ringan. Langkahnya cepat untuk orang usia di atas 60 tahun hingga roda koper terbanting-banting. Sebuah mobil sedan membawanya memisahkan diri dari rombongan VIP itu.
“Ikut saya, nanti kamu akan dapat foto bagus dan liputan menarik,” katanya menawarkan pada saya. Mengikuti langkahnya berarti mengikuti ketakterdugaan. Inilah menariknya.
Saya punya banyak kisah tentang ketakterdugaan ini, utamanya “tragedi-tragedi” terkait tetumbuhan. Mulai dari mencicipi buah yang mengubah mulut jadi biru selama berjam-jam, mengoles tubuh dengan minyak babi agar tidak digigit nyamuk rawa, hingga cebok dengan lumut basah.
Saya pernah mengikuti perjalanannya ke beberapa kawasan hutan di Indonesia untuk eksplorasi. Greg Hambali selalu punya sisi lain selain dunia botani. Kemanusiaan.
Sekitar 30 menit dari bandara, mobil kami berhenti di sebuah rumah asri yang dikeliling pohon buah-buahan. Seorang laki-kali usia 40-an, masih mengunyah sirih, menyambut dengan suka cita koper yang dibawa Greg.
Begitu dibuka, isinya setek dan cangkokan aneka buah, biji-bijian, dan dua buah raket listrik pembasmi nyamuk. Ia semangat meminta saya memotret. Meski saya tidak paham, saya pun memotret.
Isi koper yang ikut terangkut oleh pesawat kepresidenan berisi potongan tanaman itu sudah cukup ganjil. Namun lebih ganjil ketika ada raket nyamuk. Pertanyaan saya terjawab ketika tuan rumah membawakan sekeranjang buah-buahan. Salak pondoh, jeruk, dan duku dari kebunnya.
“Ini saya tanam 10 tahun lalu. Bibitnya dari Pak Georg,” kata Joseph. Ia memanggil Greg dengan Georg. Rupanya hal ini sudah dilakukan Greg ketika bertandang ke berbagai pelosok Nusantara.
Ia keluar masuk hutan untuk mencari plasma nutfah yang bisa dikembangkan untuk tanaman komersial. Ia membawakan bibit untuk warga yang untuk ditanam agar punya penghasilan.
Terbukti, Joseph mampu menyekolahkan tiga anaknya dari hasil kebunnya. Dari sepuluh orang yang dibingkiskan oleh-oleh bibit di desa itu, hanya Joseph yang tekun merawat. Akhirnya, ia menjadi petani buah yang sukses.
Soal raket nyamuk, ternyata ia memberikan satu untuk saya ketika kami memasuki kawasan hutan alam di Sorong. Sepanjang jalan, kami menggunakan raket nyakmuk itu untuk masuk hutan.
Ide yang ganjil, tetapi setidaknya lebih baik dibanding mengolesi diri dengan minyak babi. Saya tak terbiasa dengan baunya yang sampai lekat berhari-hari.
Itu hanya salah satu sisi lain dari seorang yang dikenal sebagai Bapak Aglaonema Indonesia. Aglaonema merupakan marga dari keluarga talas-talasan (Araceae) yang sempat tren pada tahun 2000-an.
Tumbuhan yang melejitkan nama Greg karena harganya fantastist. Harlequeen, aglaonema silangannya tembus harga lebih dari Rp600 juta untuk satu pot. Fantastis.
Namun sesungguhnya, ada lebih nanyak narasi senyap yang ditorehkan oleh alumni S2 di Universitas Birmingham ini. Hasratnya pada evolusi khususnya pada tumbuhan membawanya pada ketekunan yang tak kenal musim.
Ia tak hanya menyilangkan Aracea, namun juga bunga soka, ubi jalar, pepaya, salak, aneka palem, nangka, hingga durian. Sepertinya, asal punya bunga, Greg akan menyilangkannya.
Tanaman yang ia silangkan bukan tanaman semusim. Butuh bertahun-tahun untuk melihat hasilnya. Harusnya pekerjaan macam ini adalah pekerjaan estafet.
Namun, Greg melakukannya sendirian, sejak ia SMP di Jawa Barat. Hasrat yang tak pernah mati, membangunkannya pukul 06.00 WIB, terkadang hingga tengah malam karena ada bunga tertentu yang mekar pada malam hari, untuk menyilang tanaman. Ribuan kuntum bunga telah disilangkannya.
Satu Truk Bunga Bangkai di Pintu Kebun Raya Bogor
“Kalau ingat Greg, kadang sebal tapi saya benar-benar kagum pada ketertarikannya dengan tumbuhan,” kata Irawati, sahabat Greg Hambali yang juga Kepala Kebun Raya Bogor (2003-2008).
Saya mendapatkan keterangan ini ketika kami bersama-sama menjadi peserta Simposium Internasional Puspa Langka, 15-18 September 2015 di Bengkulu.
Irawati mengingat ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Kebun Raya Bogor. Menjelang tengah malam, Greg menemui Irawati untuk minta membuka laboratorium sebab biji yang ia bawa entah dari mana, harus segera ditanam di cawan petri malam itu juga.
Jika Irawati tidak membukankan lab untuknya, ia akan menunggu di depan pintu hingga pagi. Irawati pun luluh.
Itu masih belum seberapa. Suatu hari, Greg tiba-tiba menelepon untuk menawarkan, apakah Irawati tertarik untuk menanam bunga bangkai (Amorphophallus titanum).
“Saya katakan ya tertarik. Greg memang suka membawakan saya 'oleh-oleh' macam-macam yang memperkaya kebun koleksi. Pernah dia memenuhi, sangat penuh, kulkas saya dengan daging buah salak ketika saya masih kos di Inggris dan Greg datang. Hanya daging, bijinya sudah dikumpulkan untuk disemai," kenangnya.
"Pernah pula ia 'menghadiahi' seember kura-kura brazil ketika ia penelitian karet di Brazil, yang bikin geger satu kos. Tapi saat dia membawa satu truk Amorphophallus, saya jadi marah,” imbuh Irawati. Truk itu sudah parkir di depan Kebun Raya.
Irawati kesal sebab untuk menanam sesuatu yang baru di area konservasi termasuk kebun raya, ada prosedur dan syarat. Termasuk asal tumbuhan itu harus jelas. Dan jumlahnya tentu mengingat luasan Kebun Raya, tentu saja tidak sebanyak itu.
“Saya menyelamatkan. Itu umbi akan dibuang karena pohonnya ditebang. Mana harus pakai surat-surat kalau habitatnya dirusak?” kata Irawati menirukan ucapan Greg.
Irawati bergeming, taat pada aturan. Greg menuduh Ira tidak kooperatif dan birokratis. Ia hanya berpikir untuk menyelamatkan dan melakukan studi dari tumbuhan itu. Tidak ada kata sepakat, dan mereka akhirnya saling diam. Tidak pernah menyapa cukup lama.
“Tapi Greg itu gigih. Dia “menyuap” saya dengan menawari buku-buku. Awalnya saya masih kesal, tapi lama-lama ya sudahlah. Kalau tidak ada orang seperti Greg, maka tidak ada tumbuhan aneh-aneh hasil silangannya,” tambahnya.
Botani seperti mengalir dalam darahnya. Ketika masih kuliah di IPB, Greg sempat mendapat larangan ikut praktikum dari co ass sebab Greg suka membantu teman-temannya untuk identifikasi tanaman yang hapal luar kepala, sementara teman-temannya harus belajar tertatih-tatih.
Nama Greg dikenal oleh berbagai tokoh botani dan naturalis dunia. J.B Comber, penulis buku babon anggrek Sumatera, Orchids of Sumatra (2001) menyematkan nama Greg Hambali di halaman persembahan. Comber berkali-kali main kebun uniknya, di Baranangsiang, Bogor.
Rasa ingin tahu tentang tumbuhan membawanya melakukan tindakan aneh bagi awam. Misalnya pada tahun 1977-an, Greg penasaran dengan cara benalu menyebarkan bijinya.
Ia pun menginap di sebatang pohon setinggi 15 meter di Kebun Raya Cibodas untuk mengamati serumpun benalu sepanjang malam. Ia pun mengidentifikasi serangga yang mendekat.
Dari pengamatannya, ia menemukan teori penyebaran biji benalu melalui kotoran burung. Teori itu dipublikasikan di jurnal Simposium Gulma Se-Asia Pasific, tahun 1977.
Kebanggaannya juga ketika namanya tertulis di The Genera of Araceae (1997) karya S.J Mayo, J Bogner, dan PC Boyle sebagai salah satu narasumber di buku bergengsi itu.
Saya bermain ke rumahnya, di Baranangsiang, Bogor pada Juni 2023, ketika saya menemani Yuda R. Yudistira dan Malcolm Victoriano untuk diskusi. Dua anak muda yang punya passion dengan botani ini menjadi teman diskusi Greg hingga pagi.
Tak ada rasa lelah bagi Greg ketika membicarakan tumbuhan, evolusi, dan sedikit pertikaiannya dengan Tuhan. Kami tidak menyangka jika itu adalah pertemuan terakhir kami.
“Apapun yang terjadi, percayalah bahwa ini bukan akhir dunia. Percayalah pada dirimu sendiri, bukan orang lain,” katanya ketika mengantarkan saya dengan motor bebeknya ke Terminal Baranangsiang.
Kami kerap berkomunikasi melalui WhatsApp untuk urusan tumbuhan. Greg tak pernah berhenti menjelajah, belajar, membaca, dan menyilang. Pun beberapa hari lalu, ia masih melakukan perjalanan ke Kalimantan. 4 November 2023, pukul 18.34 WIB, saya mendapat kabar bahwa Gregori G. Hambali berpulang pada usia 74 tahun.
Ia masih suka naik motor, berkali-kali jatuh, tetapi tetap bangkit lagi. Kini, ia terbaring di keabadian, dan selesailah tugasnya. Selamat jalan, Pak.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR