Nationalgeographic.co.id—Gambar di atas adalah rekonstruksi dari Mama Flo, sosok perempuan dari kerangka Homo floresiensis yang ditemukan di Liang Bua, dibuat oleh paleoartis Jepang di Museum of Tokyo. Rekonstruksi itu dibuat berdasarkan penelitian arkeologi, lengkap dengan bekas luka di kaki dan tangannya, berdasarkan analisis pada kerangka.
Sejatinya, rekonstruksi figur merupakan cara untuk mempopulerkan sains arkeologi. Melalui rekonstruksi, masyarakat awam bisa membayangkan sosok tokoh atau spesies tertentu ketika hidup.
"Kalau saya pribadi lebih suka karya Gurche," kata Thomas Sutikna peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional dan salah satu dari tiga arkeolog Indonesia yang terlibat dalam pengungkapan H. floresiensis. "Kalau yang ini kan dibuat orang Jepang, jad dibuat seperti orang Asia. Kalau Gurche, yang dari Smithsonian [Institution] itu benar-benar seperti manusia purba."
John Gurche adalah seniman yang berkecimpung pada bidang kehidupan prasejarah, dan memiliki latar belakang pendidikan di Anthropology and Paleontology, University of Kansas.
Semua karya rekonstruksi Gurche dipublikasi di berbagai media, baik ilmiah maupun media populer. National Geographic Indonesia pernah menggunakan karyanya dalam sampul edisi pertamanya pada 2004. Dia juga mempublikasikan buku yang menjelaskan perpaduan seni, sains, dan imajinasi tentang asal-usul manusia bertajuk Shaping Humanity.
Kebanyakan rekonstruksi model sejarah dan prasejarah dimulai dari bagian tengkorak. “Saya suka ketika seseorang memberi saya tengkorak,” kata Gurche di National Geographic, “dan saya menjadi orang yang tahu seperti apa tengkorak itu".
Untuk membentuk karya rekonstruksi, langkah pertama yang Gurche lakukan adalah mengukur tulang, memperhatikan ukuran rongga mata tempat, kesesuaian tempat untuk otot rahang dan ukurannya ketika hidup, memasukkan pengukuran dan dicatat dalam lembar kerja.
“Saya tidak tahu seperti apa wajahnya sampai proyek ini berakhir,” tambahnya. “Bahkan bagi saya, hal ini sering kali mengejutkan.”
Pada kerangka peradaban manusia yang lebih maju, seperti Mesir kuno, pun demikian. Tengkorak lebih sering menjadi modal awal bagi seniman untuk memulai rekonstruksinya.
“Seringkali potret dan patung orang-orang ini tidak ada, dan bahkan tidak ada deskripsi tertulis yang memberi tahu kita seperti apa rupa mereka,” kata Caroline Wilkinson, direktur Face Lab yang berbasis di Inggris.
Tidak hanya mengandalkan imajinasi, para peneliti di seluruh dunia mulai mengembangkan rekonstruksi wajah berbagai tokoh ikonik dalam masa sejarah menggunakan pemindai CT (computed tomography).
Beberapa dekade lamanya, para peneliti terus berusaha mengungkap wajah dari para penguasa termasuk, Firaun Tut dan raja Inggris Henry VII. Hanya saja, upaya rekonstruksi sering kali bias dan kabur karena pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti.
"Tidak ada bukti [ilmiah] yang mengatakan kulit mereka itu lebih putih," kata Rui Diogo salah satu ilmuwan yang mengungkap berbagai bukti bias di jurnal Frontiers in Ecology and Evolution. "Rekonstruksi di masa lalu, kebanyakan tidak memiliki dasar ilmiah."
Bias itu bahkan ada pada rekonstruksi di Smithsonian National Museum of Natural History di Washington. Pada 2021, ilmuwan menemukan bahwa bias pada rekonstruksi tampak pada kulit yang cenderung terang seperti manusia modern Eropa. Padahal spesies tersebut adalah hominid yang telah punah.
Hal ini diamini oleh Susan Hayes, peneliti dari Centre for Archaeological Science di University of Wollongong Australia, ketika hendak merkonstruksi perempuan purbakala. Karya yang dibuatnya adalah rekonstruksi perempuan dari Zaman Batu yang hidup sekitar 13.000 tahun lalu di Thailand.
Hayes mengungkapkan, ada banyak database wajah yang sangat bias. Data-data yang dimiliki masih merupakan gambaran orang yang masih hidup dengan keturunan ras Eropa. Untuk meminimalisasi dampak bias, Hayes dalam jurnal Antiquity tahun 2017, para peneliti harus menggunakan database global dengan subjek dari seluruh dunia.
"Dengan cara ini, Anda menerapkan data paling kuat yang tersedia untuk perkiraan tersebut,” kata Hayes, melansir Live Science. "Sering kali saya akan membandingkan database yang berbeda saat membuat perkiraan."
Bagi Oscar Nilsson, seniman forensik, pematung, dan arkeolog berbasis di Swedia mengatakan bahwa pengungkapan wajah semakin canggih. Para ilmuwan mempertimbangkan teknik ekstraksi dan analisis DNA baru yang membuat rekonstruksi bisa lebih akurat lagi. Penggambarannya bahkan sampai tingkat warna rambut, kulit, dan mata yang lebih akurat.
“Saya pikir DNA telah dan akan terus menjadi faktor penentu dalam rekonstruksi wajah,” kata Oscar Nilsson, dikutip dari Live Science.
Informasi dari DNA ini sangat membantu untuk bisa dikenali. Sebelumnya, keakuratan rekonstruksi bisa berubah karena berbagai kondisi berhubungan dengan tengkorak dan kerangka. Kerusakan bisa menjadi penyebab keakuratan meragukan.
“Ini seperti mendapatkan kerangka ilmiah—semakin ketat semakin baik—dan dalam kerangka ini saya dapat menggunakan keterampilan artistik untuk memunculkan wajah yang hidup dan dapat dipercaya,” kata Nilsson.
Masalahnya, analisis DNA adalah proses yang mahal. Di satu sisi, tidak selalu memungkinkan untuk menganalisis tulang orang yang sedang direkonstruksi, sehingga kemungkinan besar proses seni untuk mengungkap wajah dan sosok akan menjadi urusan rekonstruksi forensik di masa mendatang. Tentunya, rekonstruksi di masa mendatang memicu perdebatan tentang keakuratannya.
Source | : | National Geographic,National Geographic Indonesia,Ancient Origins,Live Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR