Nationalgeographic.co.id—Pada Jumat, 1 Desember 2023, perusahaan rintisan comestoarra.com menandatangani kerja sama dengan perusahaan Korea Selatan, HS Solar Energy.
Kesepakatan kerja sama ini digelar di kantor HS Solar Energy yang berlokasi di Chungcheongbuk, Koreea Selatan. Ruang lingkup kerja sama ini meliputi pengembangan, implementasi, pemasaran dan branding bersama dalam bidang distributed hybrird renewable energy charging station for electric vehicle.
Penandatanganan kerja sama ini adalah bagian dari program 2023 ODA Project: capacity building program for green transition yang diselenggarakan oleh organisasi internasional ASEM SMEs Eco-Innovation Center (ASEIC), Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia, dan Kementerian start-up and SMEs Republik Korea.
Dalam hal ini, comestoarra.com adalah satu-satunya perwakilan Indonesia yang menandatangani dokumen kerja sama dengan perusahaan Korea Selatan. Penandatanganan ini disaksikan perwakilan pemerintah Korea Selatan, pemerintah Indonesia, dan para stakeholders comestoarra.com dan HS Solar Energy baik secara daring dan luring.
Turut hadir dalam kesepakatan ini Seung-chan LEE (Secretary-General ASEIC), Seong-Uk HONG dan Kwang-ho JEON (Chungcheongbuk-do Provincial Government), Henra Saragih (Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia).
Hadir pula secara daring Direktur Jenderal Pengembangan ekonomi dan investasi, Kementerian Desa, Harlina Sulistyorini; perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; perwakilan Bappenas; serta Universitas Andalas.
Menurut Chief Executive Officer comestoarra.com, Arief Noerhidayat (Arief), setelah sukses berkontribusi pada program co-firing nasional pada 2019 - 2022, comestoarra berupaya untuk berkontribusi pada program dediselisasi dan pengembangan eksositem kendaraan listrik di Indonesia.
Penandatanganan kerja sama antara comestoarra.com dan HS Solar Energy melengkapi skema listrik kerakyatan yang digagas oleh Dr. Ir. Supriadi Legino, MM., MBA., MA.
Sementara itu comestoarra.com tetap fokus melakukan pengolahan sampah organik dan residu biomassa menjadi bahan bakar terbarukan padat (pellet RDF/SRF).
Perbedaannya, comestoarra.com mempersingkat rantai pasok pemanfaatan RDF/SRF yang awalnya digunakan untuk pencampuran batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), menjadi bahan baku untuk proses gasifikasi skala kecil untuk memproduksi synthetic gas.
Comestoarra.com berhasil mengembangkan teknologi gasifikasi mini dan telah diuji pada sejumlah ajang nasional dan internasional, salah satunya adalah Australia Awards Indonesia 2018. Untuk melengkapi konsep distributed hybrid renewable energy technology, tentu comestoarra.com membutuhkan mitra yang kompeten pada bidang panel surya dan baterai.
“Saya merasa beruntung bisa dipertemukan oleh HS Solar Energy oleh ASEIC dan Kementerian Koperasi dan UKM karena melakukan hybrid teknologi energi baru dan terbarukan tidak mudah secara teknis. Maka setelah berdiskusi panjang dengan HS Solar Energy akhirnya kami memiliki kesamaan visi dan misi yang membuat kerja sama ini terjadi”, ujar Arief.
Arief menambahkan bahwa Distributed hybrid renewable energy charging station dikembangkan untuk mengurai dua permasalahan: permasalahan sampah skala komunal, pemanfaatannya untuk berkontribusi pada bauran energi baru dan terbarukan nasional, dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Charging station ini dipastikan bersumber dari 100 persen energi baru dan terbarukan dimana comestoarra.com menggabungkan teknologi gasifikasi, panel surya, dan baterai.
Pengolahan sampah organik dan residu biomassa menjadi bahan bakar terbarukan padat (pellet RDF/SRF) (TOSS) dan distributed hybrid renewable energy charging station (DHRS) merupakan inovasi comestoarra.com yang saat ini telah diimplementasikan di PT Pupuk Sriwidjaja Palembang dan sedang melalui tahapan pengembangan di Universitas Andalas, Padang.
Tujuan dari TOSS dan DHRS ini adalah salah satu strategi berbasis komunal dan terdesentralisasi untuk mendukung pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi sampah yang didominasi sampah organik dan residu biomassa, pemanfaatannya untuk energi terbarukan, pengembangan ekosistem kendaraan listrik, dan berkontribusi pada target capaian transisi energi.
Supriadi menekankan bahwa lebih dari 30 tahun berkarir di industri energi dan ketenagalistrikan, dirinya merasa belum ada keberpihakan pada UKM. Hal inilah yang mendorong Supriadi merumuskan konsep "Listrik Kerakyatan".
Gagasan ini terinspirasi dari konsep commutative law of algebra yaitu: 1x1.000 = 1.000x1, membangun satu unit pembangkit listrik raksasa 1.000 MW yang kompleks dan harus dikerjakan oleh pemodal besar sama nilainya dengan membangun 1000 unit berkapasitas 1 MW yang dapat dikerjakan oleh UKM setempat.
“Pemikiran ini dipicu oleh berbagai pengalaman saya tentang sulitnya membangun pembangkit dan transmisi ketenagalistrikan antara lain PLTA maninjau, PLTA Singkarak, PLTA Musi, PLTA Besai, PLTGU Tambak Lorok, serta berbagai segmen Transmisi 150 kV sampai 500 kV di Jawa dan Sumatra. Dari pengalaman tersebut, untuk Indonesia, konsep desentralisasi adalah jawaban”, terang Supriadi.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR