Setelah menghitung-hitung peluangnya, Napoleon membutuhkan informasi untuk membuat keputusan akhir. Ia mengirimkan tim kavaleri untuk menyeberangi sungai pada titik tersempitnya agar dapat melihat celah dari serangan tentara Austria.
Setelah tim kavaleri memberi informasi, Napoleon pergi ke sisi lain. Pasukan Prancis kini terbagi dua, di mana tim Kavaleri dapat menyerang musuh dari belakang, sedang Napoleon menyerang dari depan.
"Hal ini akan memaksa Austria untuk melawan serangan terhadap barisan belakang mereka dan itu dapat menghancurkan konsentrasi sekaligus mengurangi pertahanan frontal mereka," tambah Iodice dalam jurnalnya.
Dengan cepat, pasukan Prancis mengepung dan menghancurkan tentara Austria. Seperti yang selalu dilakukannya, sebelum mengambil keputusan, Napoleon mendasarkan tindakannya pada fakta yang sudah diperiksa, diperiksa ulang, dan diperiksa lagi.
Dia tahu karena sudah memperhitungkan dengan matang berapa banyak tentara yang bisa dia kerahkan dalam perjuangan untuk mendapatkan supremasi, dari sebuah keputusan untuk mencapai celah dan mengalahkan musuhnya.
Dalam hal ini, Iodice menyebut bahwa Napoleon Bonaparte telah melakukan analisis cost benefit hingga berhasil membuat salah satu keputusan yang mengesankan, sekaligus paling penting dalam sejarah.
Setelah memakan hampir empat hari pertempuran, pasukan Prancis berhasil memasuki gerbang Milan. Di sana, pasukan Austria telah tamat. Dari situ, Napoleon Bonaparte dikenang sebagai seorang pahlawan.
Tiga tahun berselang, dunia mungkin tidak menyangka seorang Napoleon akan memerintah seluruh Prancis. Tahun 1800 menjadi saksi, tahun yang menyambut abad baru dari penguasa manusia yang baru.
Setelah peperangan panjang dengan sekutu Prusia, melalui Perjanjian Fontainebleau, Sekutu mengasingkan Napoleon ke Elba, sebuah pulau berpenduduk 12.000 jiwa di Mediterania.
Napoleon mencoba bunuh diri dengan pil yang dibawanya setelah hampir ditangkap oleh Rusia saat mundur dari Moskow. Namun, percobaan bunuh dirinya tidak berhasil.
Beberapa bulan setelah pengasingannya sejak Mei 1814, Napoleon mengetahui bahwa mantan istrinya Joséphine telah meninggal di Prancis. Dia sangat terpukul oleh berita itu, mengunci diri di kamar dan menolak pergi selama dua hari.
Pada pertengahan tahun 1817, kesehatan Napoleon memburuk. Dokternya, Barry O'Meara, mendiagnosis hepatitis kronis. Hal itu juga dipicu karena pengasingannya di St. Helena yang membuatnya depresi karena harus meninggalkan keluarganya.
Kesehatan Napoleon terus memburuk dan pada bulan Maret 1821, membuatnya terus terbaring lemah di tempat tidur. Sampai akhirnya ia dikabarkan wafat pada tanggal 5 Mei 1821, pada usia 51 tahun.
Source | : | The Journal of Values-Based Leadership |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR