Nationalgeographic.co.id—Ada beberapa penemuan menakjubkan di Pompeii dalam beberapa tahun terakhir. Seperti kereta seremonial, kios makanan cepat saji versi Romawi kuno, dan lukisan dinding erotis. Dalam sejarah dunia, penemuan-penemuan di Pompeii itu membantu kita memahami tentang kehidupan masyarakat di masa itu.
Sebuah penemuan terbaru di Pompeii menyoroti bagian yang sering diabaikan dalam masyarakat: perbudakan. Para arkeolog melakukan penggalian di kota yang hancur akibat letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 M. Baru-baru ini, mereka mengumumkan tentang penemuan “penjara” di sebuah toko roti. Di tempat itu, manusia dan hewan tinggal dan bekerja keras dalam kondisi brutal untuk membuat roti.
Menurut pernyataan dari Archaeological Park of Pompeii, ruangan sempit itu tidak memiliki pemandangan dunia luar. “Hanya ada beberapa jendela tinggi berjeruji,” tulis Kaleena Fraga di laman All That’s Interesting.
Lekukan di lantai menunjukkan keledai yang ditutup matanya terpaksa berjalan berjam-jam untuk menggiling biji-bijian untuk dijadikan roti.
Tidak ada jalan keluar. Kamar itu hanya memiliki satu pintu. Pintu tersebut mengarah kembali ke atrium sebuah rumah megah yang dipenuhi lukisan dinding mewah.
Kesusahan para budak
“Kebebasan budak di ruangan ini dibatasi oleh pemiliknya,” jelas Gabriel Zuchtriegel, direktur Archaeological Park of Pompeii. Temuan ini menunjukkan sisi yang paling mengejutkan dari perbudakan kuno. Perbudakan ini tidak memiliki hubungan saling percaya dan janji pembebasan. Semuanya tampak seperti kekerasan yang kejam, sebuah kesan yang sepenuhnya diperkuat dengan pengamanan beberapa jendela dengan jeruji besi.
Meskipun rumah utama tampaknya sedang menjalani renovasi ketika Gunung Vesuvius meletus, para arkeolog menemukan mayat tiga orang di toko roti. Menurut pernyataan Archaeological Park of Pompeii, hal ini menunjukkan bahwa properti tersebut tidak berpenghuni selama bencana letusan.
Bagi budak dan hewan-hewan di tempat itu, kehidupan sehari-hari terasa monoton dan brutal. Penulis abad kedua, Apuleius, mengungkapkan soal kondisi pabrik-pabrik tersebut di The Golden Ass. Ia menggambarkan mereka bekerja di pabrik-pabrik biji-bijian dengan “mata yang begitu kabur karena panas terik dari kegelapan yang dipenuhi asap. Seperti pegulat yang ditaburi debu sebelum bertanding, para budak diputihkan secara kasar dengan abu tepung.”
Keledai yang dipaksa bekerja di pabrik juga menderita. “Bagian pinggang mereka terpotong sampai ke tulang akibat cambuk yang tiada henti,” tulis Apuleius. “Kuku mereka berubah menjadi aneh karena berputar-putar berulang-ulang. Dan seluruh kulit mereka ternoda kudis dan berlubang karena kelaparan,” tambahnya.
Para pekerja di pabrik Pompeii bekerja di sekitar empat batu giling yang padat, Zuchtriegel menjelaskan. Tentu saja sangat sulit bagi budak untuk bekerja di tempat yang sempit.
“Ruangnya sangat kecil sehingga dua keledai tidak bisa lewat pada saat yang sama. Jadi mereka harus selalu berhati-hati agar tetap sinkron dengan yang lain,” kata Zuchtriegel.
Toko roti itu ditemukan selama penggalian rumah yang lebih besar dan terlampir. Di sana, para arkeolog menemukan sejumlah penemuan menarik, termasuk sebuah lukisan dinding yang tampaknya menggambarkan pizza. Di rumah yang sama, ada sebuah ruangan yang penuh dengan prasasti untuk seorang politisi bernama Aulus Rustius Verus.
Pada akhirnya, toko roti penjara memberikan gambaran yang menggugah tentang kehidupan di Pompeii bagi sebagian penghuninya yang paling tertindas. Para budak merupakan bagian besar dari populasi Pompeii dan menopang perekonomian wilayah tersebut, namun mereka sering kali diabaikan dalam catatan sejarah kota yang hancur tersebut.
Tidak ada keraguan seperti apa kehidupan mereka yang bekerja di toko roti penjara, menurut Zuchtriegel. Seperti yang dia katakan kepada The New York Times, penemuan terbaru ini memberikan “gambaran yang sangat kasar dan suram” tentang keberadaan mereka.
Dari mana asal budak-budak di Pompeii?
Dalam sejarah dunia, perbudakan tidak hanya terjadi di Kota Pompeii. Sebagian besar kualitas hidup di Kekaisaran Romawi bergantung pada kerja paksa. Merupakan praktik umum di seluruh wilayah Mediterania untuk menggunakan budak untuk menggarap lahan dan melayani tuannya.
Perkembangan perbudakan terjadi selama beberapa dekade dan abad, berubah seiring dengan luasnya Kekaisaran Romawi. Awalnya, budak hanya dimiliki oleh orang-orang terkaya atau orang-orang yang mempunyai kekuasaan tinggi. Tapi pada akhirnya, hal ini menyebar ke masyarakat umum. Rumah tangga kelas menengah juga memiliki budak mereka sendiri.
Para budak itu sendiri juga berubah seiring waktu. Pada awalnya, mereka adalah orang Italia seperti pemiliknya. Mereka sering kali dibawa ke dalam kehidupan keluarga mereka, berbagi adat dan tradisi. Pada abad ke-2 dan ke-3 budak mulai berdatangan dari wilayah taklukan Kekaisaran Romawi. Mereka melintasi Eropa dan Asia.
Ada berbagai cara berbeda untuk menjadi budak. Keturunan dari ibu budak secara otomatis menjadi budak. Sebagian budak dilahirkan di kota khusus untuk tujuan menjadi budak. Anak-anak terlantar yang diambil dari jalanan pun menjadi salah satu sumber pasokan budak Romawi. Tawanan perang sangat umum, begitu pula penjahat dari berbagai kejahatan.
Asal etnis juga berperan karena pedagang budak diharuskan memberikan bukti etnis dari budak yang dijual. Kebangsaan tertentu, seperti Yunani, lebih disukai sebagai budak dan biasanya digunakan untuk membimbing anak-anak sebuah keluarga. Hal ini membawa simbol status yang besar bagi rumah tangga tertentu yang memiliki budak Yunani.
Orang Romawi kuno juga mendapatkan budaknya dari tawanan perang. Pelaut juga menangkap dan menjual bajak laut yang dikalahkan jika mereka bertemu di laut. Budak juga bisa dibeli di luar negeri lalu dibawa kembali ke kota untuk diperdagangkan.
Budak yang paling mengejutkan adalah mereka yang dijual sebagai budak oleh keluarga mereka selama masa sulit keuangan, untuk mendapatkan uang.
Sejak ribuan tahun, perbudakan brutal dan kerap diabaikan oleh masyarakat.
Source | : | All Thats Interesting |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR