Nationalgeographic.co.id—Atlantis sebagai kota yang hilang adalah peradaban mitos kuno yang tenggelam di bawah ombak. Dikatakan terletak di suatu tempat di Samudera Atlantik menunggu untuk ditemukan kembali. Lalu, apakah Atlantis benar-benar ada?
Muncul dalam dua dialog Plato lebih dari 2.000 tahun yang lalu, cerita tersebut hampir pasti merupakan kisah fiksi yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca Plato. Seiring waktu, kisah Atlantis tertanam dalam imajinasi kolektif kita.
Para penulis modern menghiasi cerita aslinya dan mengemukakan teori mereka tentang apa yang terjadi pada penduduk Atlantis.
Betapapun menariknya kisah asli Atlantis, teori-teori disekitarnya lah yang memberikan sejarah yang sangat kaya dan layak untuk diselidiki.
Kisah Asal Mula Kota yang Hilang
Asal usul mitos Atlantis sudah ada sejak lama. Ceritanya sekitar 9.000 tahun sebelum Plato, ada sebuah peradaban yang terdiri dari setengah manusia, setengah dewa. Mereka tinggal di serangkaian pulau di suatu tempat di Samudera Atlantik.
Peradaban besar ini diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah, angkatan laut yang kuat, dan kekayaan yang melimpah. Tidak ada peradaban lain yang mampu menandingi kekuatan Atlantis. Tersebar di pulau-pulau yang luas, bangsa Atlantis hidup dalam utopia.
Kecuali satu hal, penduduknya yang dipenuhi kekuasaan dan kekayaan, lalai menghormati para dewa. Bangsa Atlantis menjadi tidak bermoral, serakah, dan sombong. Karena kesombongan dan keangkuhannya, mereka memutuskan untuk menyerang kota-kota di Eropa dan Asia, mengirimkan pasukannya untuk menaklukkan penduduk wilayah Mediterania.
Namun ketika mereka menyerang Athena, Atlantis tiba-tiba menemui tandingannya. Athena, berhasil menghalau serangan Atlantis dan kemudian membebaskan bangsa lain di Eropa dan Afrika Utara.
Lebih buruk lagi, sikap kurang ajar orang Atlantis membuat marah para dewa. Sebagai hukuman karena tersesat, para dewa mengirimkan gempa bumi dan api untuk menghancurkan mereka.
Dalam suatu siang dan malam yang mengerikan, Atlantis tenggelam di bawah air bersama dengan para pejuang heroik Athena yang telah berperang melawan mereka.
Sejak saat itu, dikatakan bahwa wilayah lautan tempat Atlantis pernah berada tetap tidak dapat dilewati karena runtuhnya kerajaan Atlantis.
Selain beberapa lapisan puing, peradaban yang dulunya besar telah sepenuhnya terhapus dari keberadaannya.
Sepintas lalu, cerita ini sepertinya penuh dengan mitos. Namun sejarah menunjukkan bahwa ada banyak orang yang percaya selama berabad-abad.
Bagaimana Cerita Plato Bisa Dipercaya?
Plato menulis kisah Atlantis sebagai eksperimen pemikiran. Plato bukan seorang sejarawan, jadi dia tidak menggambarkan kejadian sebenarnya.
Sebaliknya, dia menggambarkan pertukaran fiksi di mana Socrates meminta orang-orang di sekitarnya untuk membuat negara-kota yang dapat digunakan sebagai tolok ukur melawan Athena. Dia menyebutkan bahwa dia ingin membayangkan kotanya, “bersaing melawan kota lain dalam kontes antar kota.”
Dalam dialog antara Socrates dan para pengikutnya, disajikan tiga negara kota fiksi, yang masing-masing dapat dibandingkan dengan Athena pada zaman Plato. Salah satu negara kota tersebut adalah Atlantis.
Bagaimana kita tahu bahwa kisah Atlantis itu tidak nyata? Salah satu petunjuk terbesarnya adalah fakta bahwa orang yang menceritakan kisah tersebut, seorang pria bernama Critias, sedang menggambarkan sesuatu yang terjadi lebih dari sembilan ribu tahun sebelumnya. Artinya, ribuan tahun sebelum Athena ada.
Ibarat permainan telepon, Plato menulis tentang seorang pria bernama Critias yang mendengar cerita tersebut dari seorang Yunani bernama Solon yang kemudian mendengar cerita tersebut saat berada di Mesir.
Namun jika Atlantis karya Plato tidak nyata, mengapa ia memasukkan cerita ini ke dalam dialognya?
Jawabannya adalah dia mencoba menggunakan alegori Atlantis sebagai peringatan bagi orang Athena tentang risiko yang mereka ambil ketika keangkuhan mengambil alih.
Plato tidak sedang menjelaskan peristiwa sejarah yang sudah lama terlupakan. Dia menggunakan peradaban fiksi sebagai contoh bagaimana tidak bertindak sebagai sebuah bangsa.
Kebanyakan orang Yunani pada masa Plato akan langsung menyadari bahwa ia hanya menggunakan Socrates dan Critias sebagai lawan bicara untuk menyampaikan pesan.
Namun para pembaca modern tidak memahami maksud sebenarnya dari Plato. Mereka memutuskan bahwa cerita itu terlalu bagus untuk dijadikan eksperimen filosofis. Akhirnya, penyebutan singkat Plato tentang peradaban fiksi berubah menjadi misteri sejarah yang sesungguhnya.
Bagaimana Atlantis Menjadi “Nyata”
Ada banyak catatan tentang Atlantis sejak zaman Plato. Dengan setiap penulis baru, ceritanya menjadi semakin fantastis.
Pada abad ke-19, Jules Verne menggambarkan Kapten Nemo mengunjungi kota yang tenggelam dalam. Sejak saat itu, kota Atlantis yang hilang telah muncul di berbagai film dan acara TV. Namun meskipun Atlantis karya Jules Verne tampak sebagai sebuah karya fiksi, beberapa orang tidak puas membiarkannya begitu saja.
Ignatius Donnelly adalah seorang politikus dan penulis Amerika yang yakin bahwa Atlantis kuno itu nyata. Ia berpikir bahwa hal ini memunculkan banyak pencapaian teknologi terbesar umat manusia.
Atlantis: The Antediluvian World, ia menyajikan serangkaian teori yang tidak masuk akal mengenai Atlantis, Alkitab, dan asal usul umat manusia.
Secara khusus, Donnelly mengklaim bahwa Atlantis adalah semacam Taman Eden, tempat munculnya semua peradaban besar lainnya. Setelah banjir dahsyat yang menghancurkan Atlantis, mereka yang selamat menjadi raja dan ratu di masyarakat yang tersebar luas.
Dalam upaya memberikan kesan legitimasi pada teorinya, Donnelly menunjuk pada berbagai bukti dari budaya lain. Ia membahas bahwa baik di Mesir maupun Peru, masyarakatnya menyembah matahari. Ia menggunakan kisah Alkitab tentang banjir yang menceritakan nasib buruk yang menimpa Atlantis. Ia bahkan berspekulasi bahwa peralatan zaman perunggu berasal dari Atlantis.
Buku Donnelly menjadi buku terlaris di Amerika Serikat. Hal ini membantu menyebarkan gagasan Atlantis sebagai fakta sejarah.
Atlantis dalam Filsafat Nazi
Bukan hanya orang Amerika yang menganut gagasan bahwa ras orisinal akan melahirkan ras lainnya.
Nazi terkenal karena obsesi mereka terhadap ras dan superioritas ras. Beberapa pemimpin Nazi, termasuk Heinrich Himmler, yakin Atlantis adalah sumber asal mula ras Arya.
Banyak dari ide-ide ini datang dari seorang bernama Hermann Wirth, yang mempercayai banyak teori yang sama yang dikemukakan oleh Ignatius Donnelly.
Seperti Donnelly, Wirth juga percaya bahwa orang-orang Atlantis yang melarikan diri, dalam upaya mereka untuk pergi sejauh mungkin dari laut, berakhir di Tibet.
Kepemimpinan Nazi menanggapi teori ini dengan sangat serius sehingga pada tahun 1938, Himmler mengirimkan ekspedisi ilmuwan Nazi untuk menjelajahi Tibet dan mengukur ciri-ciri wajah penduduk setempat.
Setelah menganalisis apa yang mereka temukan, tim menyimpulkan bahwa orang Atlantis memang berhasil sampai ke Tibet, dan orang-orang yang tinggal di sana adalah keturunan langsung.
Temuan ini membuat Himmler khawatir karena menunjukkan adanya tingkat percampuran ras yang mengkhawatirkan selama berabad-abad. Hal ini mendorongnya untuk melipatgandakan upaya jahatnya dalam menciptakan ras yang murni.
Mencari Kota Atlantis yang Hilang
Pencarian Atlantis dan keturunan Atlantis tidak berakhir di tangan Nazi. Orang-orang telah melakukan penelusuran di berbagai tempat seperti Bolivia, Spanyol, dan Antartika. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa mereka telah menemukan Atlantis yang sebenarnya – setidaknya, peradaban yang mengilhami Plato untuk menciptakan peradaban fiksi.
Peradaban itu adalah bangsa Minoa. Seperti bangsa Atlantis, bangsa Minoa merupakan kekuatan angkatan laut yang penting dan tersebar di beberapa pulau Aegean.
Meskipun mereka tidak berumur 9.000 tahun sebelum Plato, mereka sudah mendahuluinya 900 tahun. Seperti halnya Atlantis, peradaban Minoa mengalami bencana alam yang mengerikan. Antara tahun 1611 dan 1538 SM, gempa bumi melanda pulau Santorini dan menghancurkan sebagian besar angkatan laut Minoa.
Bukan letusan gunung itu sendiri yang menyebabkan jatuhnya peradaban Minoa. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh keruntuhan ekonomi yang baru terjadi pada abad ke-15 Masehi.
Source | : | History Defined |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR