Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian baru di Pulau Celebes mengungkapkan sifat unik dari yaki atau monyet hitam sulawesi (Macaca nigra). Para peneliti menemukan bahwa ketika bayi yaki terlibat dalam konflik agonistik, ayah yaki cenderung merespons jeritan keturunannya sendiri.
Penemuan ini adalah kesimpulan dari penelitian terbaru yang dipimpin oleh para ahli ekologi perilaku. Para peneliti mempelajari perilaku yaki tersebut di Cagar Alam Tangkoko di Sulawesi, Indonesia, selama periode 24 bulan (tahun 2008 hingga 2010).
Penelitian terhadap primata yang punya ciri khas rambut berbentuk jambul di atas kepalanya ini merupakan bagian dari Macaca Nigra Project (MNP). Riset ini dipimpin oleh ahli ekologi perilaku Profesor Anja Widdig dari Universität Leipzig dan Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig.
Makalah hasil studi mereka ini baru saja terbit di International Journal of Primatology edisi khusus yaki pada Juli 2023. Penerbitan hasil penelitian ini menandai peringatan 17 tahun Macaca Nigra Project.
Selama tahun awal kehidupannnya, bayi primata menghadapi banyak bahaya. Mereka bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup, terutama pada tahun pertama kehidupannya.
Induk primata memikul beban utama pengasuhan pada primata. Karena kelangsungan hidup anak-anak mereka juga penting bagi pejantan untuk mewariskan gen mereka, sang ayah dapat, misalnya, juga melindungi anak-anak mereka selama konflik.
"Banyak spesies primata hidup dalam kelompok yang terdiri dari beberapa jantan dan betina. Perkawinan bebas menimbulkan pertanyaan apakah pejantan dapat mengenali keturunan genetik mereka. Oleh karena itu, tujuan dari studi perilaku ini adalah untuk menyelidiki bagaimana respons pejantan ketika bayi berteriak minta tolong," kata Profesor Widig.
Timnya mengamati konflik yang melibatkan bayi yaki. Anak-anak yaki sering berteriak untuk mendapatkan dukungan.
Dalam lebih dari 3.600 jam observasi di tiga kelompok studi, para peneliti mencatat lebih dari 2.600 jeritan bayi minta tolong. Mereka kemudian menganalisis respons yaki jantan terhadap jeritan bayi-bayi tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa para pejantan lebih mungkin merespons jeritan bayi jika mereka adalah ayah bayi, teman bayi, dan/atau teman induk si yaki. Selain itu, para pejantan lebih cenderung bereaksi terhadap anak-anaknya yang menjerit-jerit jika mereka sendiri memiliki tingkat dominasi yang tinggi, yaitu kemungkinan besar menjadi ayah dari sebagian besar bayi tersebut.
Para pejantan lebih cenderung merespons jika bayi yang berteriak dan induknya memiliki tingkat dominasi yang rendah, yaitu sangat bergantung pada bantuan. Sebaliknya, respon para pejantan terhadap jeritan bayi tidak bergantung pada kehadiran ibu di lokasi konflik.
Source | : | Universität Leipzig |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR