Nationalgeographic.co.id—Dari lahan pertanian kaum tani yang luas hingga jamuan makan mewah kaum bangsawan, makanan di sejarah Abad Pertengahan sangat beragam dan menarik.
Periode ini berlangsung kira-kira dari abad ke-5 hingga ke-15, ditandai dengan budaya kuliner khas yang tidak hanya mencerminkan kondisi sosial ekonomi pada zaman tersebut, namun juga mencerminkan selera, kepercayaan, dan adat istiadat masyarakatnya.
Namun, ketika seseorang menjelajah lebih jauh ke dalam masakan di sejarah abad pertengahan, serangkaian hidangan menarik bagi selera modern mungkin tampak cukup aneh.
Sejarah Abad Pertengahan telah lama menyimpan daya pikat yang mempesona, penuh dengan kesatria, kastil, dan kesederhanaan hidup yang menawan. Namun di balik itu, terdapat dunia makanan kompleks yang lebih dari sekedar makanan.
Abad Pertengahan adalah zaman seribu tahun yang ditandai dengan perubahan besar dalam masyarakat, ekonomi, dan budaya.
Secara umum, pola makan masyarakat sejarah Abad Pertengahan didasarkan pada apa yang bisa ditanam, diburu, atau ditangkap secara lokal.
Hal ini mengakibatkan perbedaan besar dalam pola makan masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti geografi, iklim, dan musim.
Misalnya, masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir mungkin memiliki akses lebih besar terhadap ikan, sedangkan masyarakat yang tinggal di lembah subur dapat bercocok tanam dan beternak dalam jumlah besar.
Pesta adalah ciri utama kehidupan sejarah Abad Pertengahan, khususnya bagi kaum bangsawan. Acara makan malam ini bukan hanya tentang makanan, tetapi merupakan peristiwa rumit yang menunjukkan kekayaan, kekuasaan dan status.
Hidangannya dibuat untuk mengesankan, sering kali menampilkan bahan-bahan eksotis, persiapan yang rumit, dan penuh hiasan.
Pada saat yang sama, pesta besar ini juga memamerkan keahlian para juru masak dan kemurahan hati kerajaan. Di sisi lain, kelas bawah, termasuk kaum tani dan budak, memiliki pola makan yang lebih sederhana dan monoton.
Makanannya sebagian besar berbahan dasar biji-bijian, dengan jelai, oat, dan gandum hitam yang menjadi bagian penting dari makanan mereka. Sayuran, polong-polongan, dan buah-buahan dalam jumlah terbatas dikonsumsi, sedangkan daging biasanya jarang, hanya disediakan untuk acara-acara khusus.
Bagaimana pola makan bervariasi di berbagai bagian Eropa abad pertengahan. Di Abad Pertengahan yang luas, kebiasaan makan dan kuliner sangat dipengaruhi oleh lokasi geografis.
Dari wilayah yang dingin di wilayah utara hingga lanskap Mediterania yang cerah, sumber daya dan iklim yang tersedia secara signifikan membentuk pola makan di wilayah tersebut, yang sering kali menghasilkan hidangan dan bahan-bahan yang tampak cukup aneh bagi kepekaan modern.
Di wilayah yang lebih dingin di Eropa Utara, misalnya, mengawetkan makanan untuk menghadapi musim dingin yang panjang merupakan sebuah kebutuhan.
Hal ini menyebabkan berbagai metode pengawetan, seperti pengasapan, pengeringan, dan fermentasi. Sebaliknya, wilayah Mediterania dengan iklim yang lebih cerah dan tanah yang subur memiliki pola makan yang kaya akan buah-buahan dan sayuran segar.
Zaitun, anggur, buah ara, dan berbagai macam sayuran disajikan secara mencolok di piring orang-orang yang tinggal di sekitar Laut Mediterania.
Namun, keunikan diet ini terlihat dari penggunaan bahan-bahan pedas tertentu seperti garum, kecap ikan fermentasi yang disukai orang Romawi dan terus digunakan hingga Abad Pertengahan.
Di Kepulauan Inggris, akses terhadap sumber daya laut dan daratan menyebabkan pola makan masyarakat laut dan darat tercampur.
Selain biji-bijian dan sayuran biasa, orang Inggris abad pertengahan juga menyukai belut, dan lamprey, sejenis ikan tanpa rahang, yang dianggap sebagai makanan lezat.
Lebih jauh ke Timur, jalur rempah-rempah yang kaya memperkenalkan cita rasa Timur Tengah dan Asia pada masakan Eropa abad pertengahan.
Rempah-rempah seperti kayu manis, cengkeh, pala, dan merica mulai lebih sering muncul dalam makanan orang kaya, menambah rasa eksotis yang sangat diidamkan.
Makanan Teraneh yang Dimakan di Abad Pertengahan
Ketika kita menjelajah lebih jauh hidup di Abad Pertengahan, mungkin tampak aneh. Kategori makanan yang sangat menarik adalah rangkaian daging yang tidak biasa yang dikonsumsi. Selain makanan standar berupa ayam, babi, dan daging sapi, berbagai macam hewan liar juga menghiasi meja, terutama bagi orang-orang kaya.
Merak, bangau, angsa, dan bahkan lumba-lumba dianggap makanan lezat yang eksotis. Merak panggang, misalnya, sering disajikan di pesta-pesta besar, bahkan kadang-kadang disajikan dengan bulunya sebagai tanda kemewahan.
Yang juga membuat penasaran adalah teknik penyiapan dan memasak makanan. Metode yang populer adalah dengan menciptakan 'sotelties' atau 'subtleties', tampilan makanan rumit yang sering kali dirancang menyerupai kastil atau binatang mitos.
Salah satu contoh yang paling aneh adalah 'cockentrice' - hidangan yang dibuat dengan menjahit bagian depan anak babi dan bagian belakang capon menjadi satu, lalu memanggang makhluk yang dihasilkan untuk memukau para tamu perjamuan.
Bumbu dan rasa yang digunakan dalam masakan abad pertengahan cukup bervariasi, dan terkadang sedikit aneh. Bahan penting dalam banyak resep adalah saus yang disebut 'verjuice', terbuat dari anggur mentah atau apel kepiting, yang menambahkan rasa asam pada banyak masakan.
Rempah-rempah, yang dianggap sebagai barang mewah, digunakan secara luas oleh orang kaya. Salah satu yang paling aneh adalah butiran surga, rempah pedas yang berasal dari Afrika Barat.
Kombinasi manis dan gurih adalah hal biasa, yang mungkin tampak aneh bagi sebagian orang saat ini. Hidangan daging sering kali menyertakan buah-buahan, gula, dan rempah-rempah untuk menciptakan profil rasa yang kompleks.
Misalnya, hidangan di sejarah Abad Pertengahan yang populer adalah 'blancmange', sejenis sup yang biasanya terbuat dari ayam, nasi, gula, dan susu almond. Perpaduan rasa ini mungkin tampak tidak lazim dalam lanskap kuliner saat ini.
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR