Nationalgeographic.co.id—Feature lokal yang terbit di Majalah National Geographic Indonesia edisi Januari 2024 mendapat penghargaan Best Edit. Best Edit merupakan penghargaan atas publikasi cerita terbaik dari seluruh jaringan National Geographic Magazine berbagai bahasa.
Selain terbit di Amerika Serikat, kini Majalah National Geographic setidaknya juga terbit dalam 29 edisi lokal di negara-negara seluruh dunia dengan sebagian cerita lokal negara masing-masing. Setiap bulannya editor internasional National Geographic di Washington, D.C., Amerika Serikat, mengkurasi cerita-cerita lokal yang terbit di 25 negara tersebut dan memilih beberapa yang terbaik dengan memberi penghargaan Best Edit.
Kisah feature lokal terbaru National Geographic Indonesia yang meraih Best Edit ini berjudul "Air Massa Minahasa". Kisah ini ditulis oleh Utomo Priyambodo dan foto oleh Donny Fernando. Sebelum edisi Januari ini, feature lokal "Pusaka Alam Bumi Etam" (kisah oleh Utomo Priyambodo dan foto oleh Josua Marunduh) di Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2023 juga mendapat Best Edit.
Feature terbaru dari Minahasa ini memuat kisah keresahan warga dan ilmuwan atas meledaknya populasi eceng gondok di Danau Tondano sehingga danau terbesar di Sulawesi Utara itu terancam berubah jadi rawa, kemudian daratan. Kondisi ini mengkhawatirkan mengingat Danau Tondano adalah sumber kehidupan (air, pangan, energi listrik) bagi masyarakat Minahasa.
Dalam feature ini, terdapat petikan hasil wawancara terhadap 9 orang narasumber: 8 orang Minahasa dan 1 warga negara asing. Dari 9 orang, ada 3 warga setempat dengan ragam profesi yang bergantung hidup pada alam sekitar Danau Tondano: nelayan, petani, dan pembudidaya ikan.
Narasumber lainnya adalah 2 peneliti ekologi Danau Tondano, 1 peneliti sejarah dan budaya Minahasa, 1 tokoh adat Minahasa, dan 1 pejabat pemerintah Minahasa. Lalu ada juga 1 direktur asosiasi olahraga air internasional yang belum lama ini menjadikan Danau Tondano tuan rumah kompetisi olahraga air tingkat Asia.
Feature lokal ini juga mengutip isi 3 makalah riset. Selain itu ada juga petikan konten dari 2 judul buku, masing-masing karya Alfred Russel Wallace dan Nicolaas Graafland.
Isu yang diangkat oleh feature lokal ini, yaitu mengenai spesies asing invasif atau invasive alien species (IAS), merupakan isu yang kini sedang banyak dibahas dan mendapat sorotan dalam diskusi-diskusi bertopik lingkungan di dunia internasional. Eceng gondok yang populasinya meledak di Danau Tondano merupakan salah satu contoh dari spesies asing invasif.
Spesies tanaman eceng gondok pertama kali ditemukan secara tak sengaja pada tahun 1824 oleh Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani sekaligus penjelajah berkebangsaan Jerman. Saat itu dia sedang mengadakan ekspedisi di Sungai Amazon, Brasil. Tanaman air itu semula didatangkan ke Indonesia pada tahun 1894 dari Brasil untuk koleksi Kebun Raya Bogor.
Meidy Yafeth Tinangon, peneliti ekologi Danau Tondano yang lama menjadi dosen Biologi di Universitas Kristen Indonesia Tomohon, menceritakan bahwa konon eceng gondok pertama di Danau Tondano berasal dari Jawa. “Karena bunganya yang bagus, ada orang pelesir ke Istana Bogor, kemudian diambillah satu eceng gondok. Cuma dipelihara di kolam, bukan di danau. Di luar danau, tapi dekat danau,” tuturnya.
Eceng gondok itu kemudian tumbuh dan berkembang biak secara pesat. Dan sebagian tanamannya terbawa air hingga ke Danau Tondano.
Menurut Meidy yang lahir dan tumbuh besar di Desa Telap, tepi Danau Tondano, eceng gondok belum ditemui di danau itu hingga tahun 1995. Kala itu Danau Tondano masih didominasi oleh tumbuhan jenis arakan dan tanaman terbenam-berakar lain di dasar danau. Namun surveinya empat tahun kemudian, yaitu tahun 1999, menemukan eceng gondok sudah tumbuh dan menjadi spesies dominan dalam struktur komunitas tumbuhan air di danau tersebut.
Riset bertajuk “Water Resources Management of Lake Tondano in North Sulawesi Province” pernah membahas eceng gondok di Danau Tondano. Makalah riset yang terbit di IOP Conference Series: Earth and Environmental Science tahun 2019 itu menemukan bahwa dalam 7 minggu, laju pertumbuhan ruang eceng gondok mencapai 88,17%-99,83%, sedangkan laju pertumbuhan biomassanya sebesar 9,78-13,39 kilogram. Data BAPPEDA Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan luas penyebaran eceng gondok di Danau Tondano pada tahun 2014 telah mencapai 277 hektare atau 5,92% dari luas danau.
“Pengelolaan danau dapat dilakukan dengan mengendalikan pertumbuhan eceng gondok melalui pemanfaatan eceng gondok secara sistematis dan terstruktur sehingga secara langsung mengendalikan laju peningkatan luas areal eceng gondok. Eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomis, seperti pupuk organik dan biogas,” saran para peneliti dari Universitas Sam Ratulangi dalam makalah itu.
Eceng gondok sering dianggap gulma karena punya kecepatan tumbuh yang tinggi. Daunnya yang lebar dan pertumbuhannya yang tinggi menyebabkan penguapan air yang tinggi sehingga debit air menjadi berkurang dan danau menjadi semakin dangkal. Daunnya yang lebar juga menutup cahaya untuk masuk ke danau dan menurunkan kadar oksigen terlarut di danau. Hal ini mengganggu ikan dan biota lain dalam danau.
Selain menyoroti ancaman yang bisa ditimbulkan oleh spesies eceng gondok, feature ini juga mengangkat nilai budaya mapalus dan ritual ruma’mus ung gio masyarakat Minahasa yangg mungkin bisa menyelamatkan masa depan danau tumpuan banyak orang ini. Kisah lengkap feature "Air Massa Minahasa" ini dapat dibaca di Majalah National Geographic Indonesia edisi terbaru, Januari 2024.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR