Nationalgeographic.co.id — Seperti Amerika Serikat, negara Australia hari ini terbentuk karena proses kolonisasi yang panjang dan kejam. Menyingkirkan warga pribumi, mengisolasi penduduk asli.
Hingga saat ini, narasi sejarah awal kolonial Australia terus diperdebatkan dengan bukti-bukti lebih lanjut yang dirilis. Bukti-bukti itu menggambarkan pembantaian kejam di perbatasan terhadap masyarakat Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres.
Data baru kali ini mengungkapkan bahwa serangan-serangan selama penyebaran permukiman pastoral di Australia tidak berkurang seiring berjalannya waktu, malah semakin meningkat, dalam skala yang sangat besar. Hal ini menciptakan trauma abadi bagi masyarakat Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres.
Proyek penelitian tersebut, yang saat ini memasuki tahun kedelapan dan dipimpin oleh Profesor Lyndall Ryan, sejarawan di University of Newcastle Australia, kini memperkirakan lebih dari 10.000 warga Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres tewas dalam lebih dari 400 pembantaian. Angka ini naik dari perkiraan sebelumnya sebanyak 8.400 jiwa dalam 302 pembantaian.
Sebaliknya, diperkirakan 168 orang non-Aborigin terbunuh dalam 13 pembantaian di perbatasan.
Tim riset tersebut mengembangkan template untuk mengidentifikasi pembantaian dan proses untuk menguatkan sumber-sumber yang berbeda. Dokumen tersebut mencakup catatan harian pemukim, laporan surat kabar, bukti Aborigin, dan arsip dari gudang Negara Bagian dan Federal.
Peta daring dan database proyek ini mencatat lokasi-lokasi pembantaian, rincian pembantaian individu dan sumber-sumber yang menguatkan bukti pembantaian tersebut.
Profesor Ryan mengatakan bukti baru yang dirilis di Tahap 4 proyek yang bekerja sama dengan The Guardian Australia ini, menunjukkan pembantaian semakin intensif, terutama setelah tahun 1860. Itu adalah periode ketika Australia Selatan mengakuisisi Northern Territory dari NSW, wilayah Kimberley di Australia Barat dibuka, dan Queensland menjadi koloni terpisah.
“Lebih banyak pembantaian terjadi pada periode 1860 hingga 1930 dibandingkan periode 1788 hingga 1860,” kata Profesor Ryan seperti dikutip dari lama Universit of Newcastle.
“Kami menemukan bahwa pembantaian menjadi lebih terorganisir dan tampaknya ada pendekatan yang lebih kejam dari para pelaku pembantaian warga Aborigin.”
Dia berpendapat bahwa para pelaku belajar lebih banyak tentang bagaimana masyarakat Aborigin hidup. “Data menunjukkan kepada kita bahwa pembantaian setelah tahun 1860 dilakukan dalam skala besar,” jelas Profesor Ryan.
“Terjadi lebih banyak pembantaian dan lebih banyak lagi orang Aborigin yang terbunuh. Jadi, hal ini membawa kita ke jalur baru dalam memahami batas kekerasan.
Source | : | University of Newcastle, Australia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR