Nationalgeographic.co.id—Setelah Perang Dunia I, sejarah berdirinya pemerintahan Inggris di Palestina menandai penyebaran tradisi sepak bola baik melalui lembaga-lembaga pemerintahan lokal maupun melalui lembaga-lembaga Inggris di sana.
Ketika Inggris menancapkan pengaruh mereka di Palestina, mereka membawa serta budaya sepak bola, mempromosikannya—beserta olahraga lain—kepada berbagai kalangan masyarakat.
"Pada tahun 1920, pemerintah kolonial Inggris mendirikan Klub Olahraga Yerusalem, di mana sepak bola merupakan salah satu olahraga utama kala itu," tulis Issam Khalidi kepada jurnal Institute for Palestine-Studies.
"Pada saat yang sama, polisi Inggris, angkatan udara, tentara, dan cabang otoritas lainnya juga membentuk tim sepak bola," imbuh Issam dalam jurnal berjudul Sports and Aspirations: Football in Palestine, 1900–1948, terbitan tahun 2017.
Sejarah olahraga di Palestina mulai dilihat sebagai komponen kunci pembangunan sosial, dan sepak bola mulai dipandang sebagai elemen budaya nasionalis. Pihak berwenang Inggris menyadari dan mewaspadai pertumbuhan sepak bola Palestina.
Pada akhir tahun 1920-an, sepak bola telah menjadi kompetisi olahraga utama selain tinju. Sepak bola menjadi olahraga paling populer dan sebagian besar daerah memiliki tim sepak bola.
Klub Olahraga Dajani di Yerusalem dan beberapa klub Ortodoks yang tumbuh dari afiliasi gereja adalah contoh utama dari hal ini. Tim lain dibentuk sebagai organisasi atletik dan kemudian menggabungkan kegiatan sosial dan budaya.
Ketika sepak bola mengambil tempat di antara kegiatan budaya dan sosial, tim sepak bola kota dan desa berubah menjadi klub atletik, dan mengubah nama mereka sesuai dengan nama daerah itu.
"Sampai pada awal tahun 1930-an, klub atletik Arab di Palestina berjumlah sekitar dua puluh," imbuhnya.
Klub Olahraga Islam, yang didirikan pada tahun 1926 di Jaffa oleh para pemuda kota, juga membentuk tim sepak bola dan mengadakan pertandingan antara lain melawan Klub Ortodoks di Jaffa.
Para pemain terkenalnya termasuk 'Abd al-Rahman al-Habbab dan Dr. Dawud al-Husayni, yang masing-masing kemudian menjabat sebagai sekretaris Federasi Olahraga Arab Palestina.
Ini memainkan peran besar dalam mempromosikan sepak bola di kalangan warga di Jaffa, menurunkan sekitar tiga generasi pemain sejak pendiriannya hingga akhir tahun 1947, beberapa di antaranya berpartisipasi dalam tim nasional Palestina pada tahun 1940-an.
Klub lain yang menurunkan tim sepak bola termasuk al-Nijma al-Bayda' (Bintang Putih) Haifa, Klub Carmel, Salisi (berafiliasi dengan Sekolah Salesian), dan Olahraga Islam (didirikan pada tahun 1920-an); Nadi al-Baq'a di Yerusalem; Klub Arab di Nablus (perkiraan 1915); dan Klub Olahraga di Gaza.
Pada tahun 1928, Klub Olahraga Arab (ASC) di Yerusalem didirikan. Kelompok ini dipimpin oleh Ibrahim Nusseibeh, seorang pemain sepak bola Palestina yang terkenal, dan memilih Fawzi Muhyi alDin sebagai bendahara.
Salah satu langkah awalnya adalah membentuk tim sepak bola yang dipimpin oleh Khalid Duzdar. Tim ini bersaing dengan klub lain, termasuk klub Yahudi Maccabi Hashmonai yang merupakan salah satu tim terbaik di Palestina.
Meskipun nama klub mengandung kata-kata seperti “Islam” atau “Ortodoks”, dokumen klub menunjukkan bahwa baik klub Kristen dan Muslim memiliki anggota dari kedua agama tersebut.
Sementara itu, klub-klub seperti Shabab al-‘Arab di Haifa dan ASC menjauhkan diri dari identifikasi agama apa pun, dan masing-masing menekankan afiliasi secara nasional maupun lokal.
Namun bagaimanapun, sepak bola memang menjadi arena persaingan dan pertikaian antara Palestina dan gerakan Zionis. Dan saat ini di Palestina masih bergulir West Bank Premier League atau Liga Utama Palestina.
Liga Utama Palestina diikuti oleh 12 klub di mana Shabab al Khalil SC keluar sebagai klub tersukses di liga ini dengan 7 kali menjadi juara liga sejak digulirkan pertama kali pada tahun 1943.
Faisal Al-Husseini Stadium menjadi salah satu rahasia dari keberlangsungan nasib sepak bola Palestina. Stadion ini berada di di Jalan Dahiat al'Barid di Al-Ram, jauh dari daerah krisis, Gaza.
Faisal Al-Husseini Stadium adalah salah satu stadion kandang tim sepak bola nasional Palestina, berkapasitas 12.500 penonton. Nama stadion ini diambil dari nama Faisal Husseini, seorang politikus Palestina yang meninggal pada tahun 2001.
Meski sepak bola di Palestina berjalan karena berlangsung di daerah krisis, James Montague menulis kepada Aljazeera bahwa para pemain timnas berlatih dan berlaga dengan perasaan cemas dan was-was.
James menulisnya dalam artikel yang berjudul Palestine national team train amid ‘constant feeling of anxiety’ terbitan 13 Januari 2024. Artikel ini dirilis di saat Tim Nasional Sepak Bola Palestina berlaga di ajang Asia Cup di Qatar.
"Selama tiga bulan terakhir, Rami Hamadi, kiper timnas Palestina dan rekan satu timnya telah berlatih bersama, makan bersama, bermain bersama, dan menyaksikan tragedi di Gaza yang terjadi dari jauh bersama-sama," sebut James kepada Aljazeera.
Menurut Rami Hamadi, "ini bukan situasi yang baik untuk bermain atau mencari nafkah, karena tragedi mencekam yang terjadi pada masyarakat kami di Gaza."
"Pikiran kami tertuju pada rakyat kami di Palestina karena kami melihat setiap hari apa yang terjadi," terusnya.
Tiga minggu setelah serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, memicu kematian ratusan warga sipil Israel dan pemboman berikutnya di Gaza yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 23.000 orang di sana.
Sebagian besar korbannya adalah anak-anak dan perempuan. Di saat yang sama, tim Palestina meninggalkan Tepi Barat melalui jalur darat menuju Yordania jelang dua laga kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Lebanon dan Australia.
Akibat aktivitas masuk dan keluar Jalur Gaza tidak mungkin dilakukan, hanya dua pemain dari Gaza yang diikutkan ke dalam skuad timnas Palestina.
Kedua pemain itu adalah bek Mohammed Saleh dan striker Mahmoud Wadi. Mereka bergabung dengan skuad, yang sebelumnya bermain untuk klub di Mesir. Segera mereka menyusul ke Doha untuk Piala Asia 2024.
Source | : | Institute for Palestine-Studies |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR