Nationalgeographic.co.id—Perperikon, salah satu kota tertua di sejarah dunia. Diyakini lokasi ini juga menjadi kuil dewa Yunani kuno, Dionysus.
Terbuat dari batu dan baru ditemukan pada abad ke-20 di Bulgaria, menjelaskan salah satu peradaban terbesar dan paling misterius di dunia, bangsa Thracia.
Suku Thracia sebagian tinggal di wilayah utara Yunani kuno dan memiliki pengaruh penting terhadap budayanya.
Perperikon juga dihuni oleh orang Eropa Neolitik serta orang Romawi, Bulgaria, dan Goth. Diperkirakan Perperikon juga menjadi rumah bagi kuil Dionysus yang terkenal.
Perperikon, nama kota yang diberikan pada Abad Pertengahan (abad 11-13), kemungkinan besar berasal dari kata Yunani kuno hyperpyros, yang berarti api altar. Kota multi-megalit di atas bukit berbatu setinggi 470 meter di Rhodopes Timur dekat kota Kardzhali, Bulgaria saat ini.
Awalnya berfungsi sebagai situs suci atau keagamaan, namun akhirnya berkembang selama berabad-abad menjadi tempat tinggal, baik sebagai kompleks candi atau benteng kerajaan.
Perperikon adalah situs ansambel megalit terbesar di Balkan dan memiliki sejarah pemukiman sejak 5.000 SM.
Jejak pertama peradaban dewasa dapat ditelusuri hingga Zaman Perunggu. Beberapa keramik dari situs tersebut berasal dari Zaman Besi Awal.
Temuan dari Eneolitikum (Zaman Tembaga) menunjukkan bahwa budaya daerah mulai membuat lubang dan celah ritual pada batu itu sendiri, memasukkan keramik dan tembikar lainnya ke dalam celah tersebut.
Sebagian besar tembikar yang digali memiliki kesamaan artistik dan struktural dengan pecahan tembikar dari Budaya Karanovo, salah satu masyarakat prasejarah terpenting di Balkan, pada periode yang sama.
Namun, baru pada Zaman Perunggu situs ini benar-benar berkembang. Beberapa peneliti menyatakan bahwa sekitar abad ke-18 hingga ke-12 SM, kota Perperikon merupakan pusat utama.
Era perkembangan ini mungkin terkait dengan apa yang disebut sebagai puncak peradaban Minoa dan Mycenaean.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR