Rute pelayaran yang lumpuh ini memangkas barang dan material yang dapat dibawa ke negara tersebut untuk berperang. Kepemimpinan Jepang terpaksa menyesuaikan perekonomiannya untuk terus berperang.
Misalnya, Jepang harus mengimpor sebagian besar pangannya. Pada tahun 1945, rata-rata asupan kalori menurun dari 2.000 menjadi 1.680 kalori per hari.
Namun, para buruh dan personel militer diberi prioritas untuk jatah makanan. Jadi pada kenyataannya, rata-rata warga Jepang mengonsumsi kurang dari 1.680 kalori karena pemerintah memutuskan untuk membiarkan penduduknya kelaparan.
Selama kampanye udara besar-besaran di Jepang, para sejarawan militer AS menemukan setelah perang bahwa kota-kota di Jepang kurang siap menghadapi serangan udara.
Aspek penyebabnya: kurangnya baja, kayu, dan beton yang dapat digunakan untuk membangun tempat berlindung atau bangunan yang lebih terlindungi.
Sebaliknya, militer Jepang mengalihkan sumber daya tersebut hanya pada peralatan militer yang paling penting saja. Salah satu contohnya adalah di pesawat terbang.
Selama perang, Jepang memproduksi sekitar 65.000 pesawat. Namun, karena kerugian dalam pertempuran dan non-pertempuran, militer Jepang mengalami kerugian beberapa ratus per bulan pada tahun 1941 menjadi 2.000 per bulan pada tahun 1944.
Jumlah ini menyebabkan kerugian hampir 50.000 pesawat pada akhir perang. Namun, meski mengalami kerugian yang luar biasa, jumlah rata-rata pesawat Jepang bertambah setiap bulan hingga akhir perang.
Pada 1945, militer Jepang memiliki sekitar 5.000 pesawat tempur dan 7.500 pesawat kamikaze lainnya.
Kekuatan zaman saat ini enam kali lebih besar daripada kekuatan Jepang pada awal tahun 1941.
Bidang lain di mana Jepang berhasil mengalihkan sumber dayanya sehingga merugikan penduduk adalah kapal angkatan laut. Jepang memulai perang dengan 381 kapal perang, setara dengan 1.271.000 ton kapal siap tempur.
Selama perang, negara tersebut memproduksi 816 kapal lagi dengan tonase bersih 1.048.000 ton.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR