Beberapa hari kemudian, Sextus Tarquinius pergi ke rumah Collatinus dan disambut dengan keramahtamahan. Ketika semua orang tertidur di rumah, dia pergi ke kamar Lucretia. Ia mengancamnya dengan pedang, menuntut dan memohon agar dia tunduk pada rayuannya.
Ketika Lucretia menunjukkan bahwa dirinya tidak takut mati, Tarquinius mengancam bahwa dia akan membunuhnya. “Tubuh telanjangnya akan ditempatkan di sebelah tubuh telanjang seorang pelayan,” tambah Gorlinski. Hal ini akan mempermalukan keluarganya karena perzinahan.
Lucretia menyerah. Kemudian di pagi hari, ia memanggil ayah, suami, dan pamannya. Wanita bangsawan yang nahas itu memberi tahu mereka bagaimana dia kehilangan kehormatannya.
Lucretia menuntut agar mereka membalas Tarquinius atas rudapaksa yang dilakukannya.
Para pria mencoba meyakinkannya bahwa dia tidak memiliki aib. Alih-alih sepakat, Lucretia memilih untuk bunuh diri sebagai hukuman karena kehilangan kehormatannya.
Brutus, pamannya, menyatakan bahwa mereka akan mengusir raja dan seluruh keluarganya dari Roma. Ia bersumpah bahwa tidak akan pernah ada lagi raja di Roma.
Jenazah Lucretia menjadi pengingat bagi banyak orang di Roma akan tindakan kekerasan yang dilakukan keluarga raja.
Rudapaksa yang dialami Lucretia pun menjadi pemicu revolusi Romawi. Paman dan suaminya adalah pemimpin revolusi dan republik yang baru berdiri. Saudara laki-laki dan suami Lucretia adalah konsul Romawi pertama.
Legenda Lucretia mewakili kebajikan feminin yang pantas. Para penulis dan seniman pun memanfaatkan kisahnya untuk karya-karya mereka.
Apakah kisah Lucretia benar-benar nyata?
Kematiannya dan balas dendam yang diilhaminya menandai titik balik dalam sejarah Romawi pada tahun 509 SM.
Source | : | britannica,thought.co |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR