Salahuddin, yang kini menjadi Sultan Mesir, mengulangi prestasi Nuruddin di Suriah ketika ia merebut Damaskus pada 1174.
Salahuddin mengklaim dirinya sebagai pelindung kaum Ortodoksi Sunni dan pemecatannya terhadap khalifah Syiah di Kairo serta pengorganisasian negaranya sesuai dengan hukum Islam yang ketat memberikan bobot yang serius terhadap klaim ini.
Salahuddin kemudian berusaha menyatukan dunia Muslim atau setidaknya membentuk suatu bentuk koalisi yang berguna–bukan tugas yang mudah mengingat banyaknya negara bagian, penguasa kota yang independen, dan perbedaan pandangan antara Muslim Sunni dan Syiah.
Strategi Militer dalam Perang Salib
Langkah awal Salahuddin untuk memperkuat militernya adalah mendisiplinkan pasukannya yang sulit diatur. Baginya, hal ini tak kalah penting dibanding strategi militer brilian maupun mutakhir.
Upayanya membuahkan hasil. Pada 1187, ia mampu menyetarakan kekuatan militer muslim dengan Tentara Salib.
Di dekat Tiberias, Palestina Utara, Salahuddin dan pasukannya berhasil menjebak dan menghancurkan Tentara Salib dalam satu serangan. Begitu besar kerugian yang diderita pasukan Salib dalam pertempuran ini, sehingga dengan cepat kaum Muslimin dapat menguasai hampir seluruh wilayah Yerusalem.
Namun, pencapaian puncak Salahuddin dan pukulan paling dahsyat bagi seluruh gerakan Perang Salib terjadi pada tanggal 2 Oktober 1187. Dia berhasil menduduki kota Yerusalem setelah selama 88 tahun berada di tangan kaum Frank.
Menurut dosen senior Bahasa dan Peradaban Timur Dekat Universitas Chicago, Paul Walker, Salahuddin berencana untuk membalas pembantaian umat Islam di Yerusalem pada tahun 1099 dengan membunuh semua orang Kristen di kota itu,
“Tetapi ia setuju untuk membiarkan mereka membeli kebebasan mereka asalkan para pembela Kristen tidak mengganggu penduduk Muslim,” kata Walker.
Karier militernya yang gemilang segera membuat namanya turut bersinar. Di mata musuh-musuhnya, dia adalah seorang ksatria yang gagah berani dan bijak.
Sang Inspirator
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR