Nationalgeograpgic.co.id—Sebagai salah satu kekaisaran terkuat dalam sejarah dunia, Kekaisaran Ottoman menjalankan praktik dan aturan agar bisa bertahan. Salah satunya adalah mengurung para ahli waris di Istana Topkapi.
Istana Topkapi dilengkapi dengan segala kemewahan. Namun di balik semua kemegahannya, ada kisah suram. Bangunan ini memiliki tujuan yang kejam, Topkapi adalah penjara.
“Sangkar emas” tersebut dimaksudkan untuk mengurung semua calon penerus takhta. Untuk apa? Agar mereka tidak akan pernah bisa menantang sultan yang sedang berkuasa. Di Topkapi terdapat ruangan-ruangan yang disebut sebagai kafes, yang terjemahan literalnya adalah “kandang”.
“Praktik kejam ini diperkirakan dimulai pada awal abad ke-17 untuk menggantikan tradisi yang lebih biadab,” tulis Kaushik Patowary di laman Amusing Planet.
Sejak masa awal Kekaisaran Ottoman, merupakan hal yang umum dilakukan oleh sultan baru untuk membunuh saudara laki-lakinya. Beberapa di antaranya bahkan masih bayi.
Kekaisaran Ottoman menerapkan “aturan orang tua” yang mana warisan diberikan dari saudara laki-laki ke saudara laki-lakinya, bukan dari ayah ke anak laki-lakinya.
Hal ini menyebabkan banyak orang bersekongkol melawan saudaranya sendiri. Hal ini pun berujung pada pemberontakan, perang, dan bahkan pembunuhan.
Sultan Mehmed II, yang menaklukkan Konstantinopel, adalah orang pertama yang mengubah praktik pembunuhan ritual ini menjadi hukum.
Ia menyatakan siapa pun yang berhasil merebut takhta setelah kematian sultan lama akan membunuh saudara laki-lakinya, paman serta sepupunya.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan pemberontakan dan perang saudara di masa depan. “Juga demi ketertiban dunia,” tambah Patowary.
Selama 150 tahun berikutnya, hukum Mehmed mengakibatkan kematian sedikitnya 80 anggota Dinasti Osman.
Satu-satunya episode pembunuhan saudara yang paling kejam dalam sejarah kekaisaran terjadi pada pergantian abad ke-17.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Amusing Planet,Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR